Jumat, 30 September 2011

REFERENSI KETELADANAN

    Perilaku dalam bekerja keras dan cerdas, memimpin karyawan dengan persuasif, dan membangun hubungan vertikal dan horizontal yang harmonis merupakan contoh-contoh perilaku sifat terpuji dari seseorang. Karena berperilaku menakjubkan dari sekelompok karyawan dan pimpinannya maka kinerja perusahaan akan meningkat. Dari mana referensi keteladanan itu bisa dipelajari dan ditiru? Biasanya keteladanan itu datangnya dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang baik dalam berbagai segi maka para karyawan cenderung akan menirunya. Bahkan tanpa diperintah sekalipun. Hal ini lumrah terjadi dalam suatu organisasi termasuk perusahaan. Apakah kalau begitu sumber referensi keteladanan hanya dari pemimpin atau pimpinan unit?

           Memang referensi dari pimpinan merupakan sumber utama. Namun demikian tidak cukup. Ada sisi lain yang perlu dipenuhi yakni dari rekan sekerja. Para karyawan akan semakin terpacu untuk meningkatkan mutunya manakala melihat kemajuan rekan-rekan sekerjanya. Misalnya dalam hal kompetensi karyawan. Syarat untuk itu hanya dapat dipenuhi lewat proses pembelajaran seperti pendidikan-pelatihan dan magang. Karena itu karyawan yang belum banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan akan terdorong oleh keberhasilan rekan kerjanya. Keberhasilan itu merupakan fungsi dari kinerja pendidikan dan pelatihan dan produktifitas kerjanya.

          Keberhasilan seorang karyawan disamping ditunjukan oleh produktifitas kerjanya juga oleh kinerja dalam bentuk perkembangan karirnya. Karir merupakan salah satu impian dari setiap karyawan. Mereka yang tergolong karirnya bagus sering menjadi rujukan karyawan lain yang belum berhasil. Mereka terdorong dan berkeinginan mencapai karir tersebut. Walaupun diketahui bahwa semakin tinggi posisi yang diraih semakin ketat persaingan karir yang dijalaninya. Dengan asumsi kondisi pengembangan karir berjalan normal maka faktor karir sangat menentukan spirit karyawan untuk meraihnya. Setiap karyawan terdorong untuk bekerja keras dan cerdas.

         Uraian di atas menunjukkan bahwa referensi keteladanan di tingkat pimpinan (vertikal) dan di tingkat rekan sekerja (horizontal) cenderung memiliki sisi yang berbeda. Kalau pimpinan dijadikan rujukan maka disitu terdapat proses berbagi nilai (shared values). Sistem nilai kepemimpinan dalam bekerja keras dan cerdas dari pimpinan cenderung mengalir ke kalangan karyawan. Lalu diperhatikan, dipahami, dan ditiru oleh karyawan dalam bentuk nyata. Sampai suatu ketika sistem nilai yang berbagi itu menjadi perilaku budaya kerja. Sementara rujukan horizontal cenderung menunjukkan terjadinya berbagi motivasi dan spirit untuk maju di antara sesama karyawan. Dalam prakteknya kalau sistem rujukan vertikal dan horizontal berlangsung sinergis maka akan menjadi fondasi budaya kerja yang semakin kokoh.

Apakah kita semua yang didaulat menjadi pemimpin sekecil apapun kedudukannya...apakah teladan tersebut sudah dilaksanakan ...?? atau hanya kita bicara doang.....

Apakah dalam berbagai kesempatan dalam melaksanakan tugas kita sudah melibatkan orang-orang yang ada disekitar kita ?........hanya kita sendiri yang bisa mnjawab karena orang lain hanya merasakan tapi kita tahu persis.....

STRATEGI PERUBAHAN DAN RESISTENSI


Ketika persaingan dunia bisnis tidak bisa dihindari maka manajemen perubahan menjadi sangat penting diterapkan. Namun demikian dalam kenyataannya proses perubahan yang terjadi tidak selalu mendapat respon positif. Resistensi dari dalam berpeluang terjadi. Terutama dalam hal-hal kebijakan yang menyangkut sisi efisiensi penggunaan tenaga kerja atau rasionalisasi. Termasuk yang ada kiatannya dengan manajemen karir dan kompensasi.
        
Manajer perlu memahami mengapa organisasi harus siap menghadapi perubahan: apakah yang bersifat inovatif maupun strategis. Perubahan inovatif adalah perbaikan secara kontinyu di dalam kerangka sumberdaya yang ada. Sementara perubahan strategis adalah perubahan melakukan sesuatu yang baru. Berdasarkan derajat kedalaman perubahan dan metodenya maka jenis perubahan yang bakal manajemen hadapi meliputi perubahan rutin, darurat, mutu, radikal, dan kondisi makro.
        
Perubahan inovatif adalah suatu proses yang dicirikan dengan adanya perbaikan apa yang sudah dilakukan. Perbaikan-perbaikan ini menyangkut dalam praktek pekerjaan dan proses, perubahan dalam rancangan, perakitan, distribusi produk atau perubahan dalam manejemen material. Sementara itu perubahan strategik meliputi : perubahan preferensi pelanggan, ukuran pasar, cara mendistribusi komoditi, cara mempromosi komoditi, perubahan unsur pendukung dan biaya tenaga kerja-operasional. Dalam pelaksanaannya, ada dua prosedur perubahan: (a) Prosedur perubahan inovatif yang memungkinkan organisasi memperbaiki efektifitas dengan mutu SDM yang terus dikembangkan; (b) Prosedur perubahan strategik yang memungkinkan organisasi merubah apa yang perusahaan lakukan dan cara melakukannya.
        
Agar resistensi dapat ditekan demi tercapainya keberhasilan suatu program perubahan maka setiap orang harus siap dan mampu merubah perilakunya. Hal ini sangat bergantung pada apa yang mempengaruhi perilaku dan apa pula yang mendorong seseorang untuk berubah. Beragam faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku: pengetahuan, kepercayaan, ketrampilan, lingkungan dan tujuan perusahaan. Untuk itu sosialisasi intensif dan penerapan pendekatan partisipasi sangat dibutuhkan.
        
Semua elemen organisasi penting dilibatkan sejak awal dalam merumuskan syarat-syarat agar perubahan berhasil seperti adanya kerangka perubahan, batasan perubahan yang diinginkan, target hasil, keterkaitan dengan tujuan perusahaan, komit pada kepemimpinan, memahami implikasi perubahan, memilih metode yang benar, melibatkan pemangku kepentingan, menggunakan strategi, dan memantau dan mengendalikan proses.

inilah beberapa Catatan penting untuk kita renungin bersama dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab masing dalam rangka menciptakan suatu perubahan Hakiki....perubahan tdk selamanya berasal dr yg merancang tpi juga bisa datang dr yg melaksanakannya.......

MAKNA KESAKTIAN PANCA SILA


Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga semua peraturan peraturan hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila haruslah dicabut
 
Tepat tanggal 1 oktober, kita kembali memperingati hari yang sangat krusial bagi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Mungkin kini banyak yang lupa atau bahkan melupakan hari kesaktian Pancasila, sebab seiring perkembangan teknologi dan informasi yang semain pesat, kita pun seakan terbius untuk melupakan sejarah yang sangat penting sebagai wujud terbentuknya dasar negara kepulauan, Indonesia.
Peringatan Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September  1965. Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G.30.S/PKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis.
Pada saat itu setidaknya ada enam orang Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun, berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila dalam sejarah Republik Indonesia.
Pancasila tentulah mengandung nilai filosofi yang sejak dahulu telah lahir dan ditumbuhkembangkan oleh nenek moyang kita. Maka, sudah sepantasnya kita harus kembali merenungkan dan menelaah kembali sudah sejauh mana penyelenggaraan serta pencapaian bangsa dan negara ini dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai pandangan hidup
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, merupakan pedoman tingkah laku bagi warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila yang telah diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan sari dan puncak dari sosial budaya yang senatiasa melandasi tata kehidupan sehari-hari.
Tata nilai sosial budaya yang telah berkembang dan dianggap baik, serta diyakini kebenarannya ini dijadikan sebagai pandangan hidup dan sumber nilai bagi bangsa Indonesia. Sumber nilai yang terkandung tersebut yakni, (1) keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, (2) asas kekeluargaan, (3) asas musyawarah mufakat, (4) asas gotong-royong, serta (5) asas tenggang rasa.
Dari nilai-nilai inilah kemudian lahir adanya sikap yang mengutamakan kerukunan, kehormonisan, dan kesejahteraan yang sebenarnya sudah lama dipraktekkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pandangan hidup bagi suatu bangsa seperti Pancasila sangat penting artinya karena merupakan pegangan yang stabil agar tidak terombang-ambing oleh keadaan apapun, bahkan dalam era globalisasi kini yang semakin pesat melalui teknologi dan informasi muktahir.
Pancasila sebagai dasar negara negara digunakan sebagai dasar untuk mengatur  penyelenggaraan kehidupan penyelenggaraan ketatanegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum-keamanan. Sebagai dasar negara, Pancasila diatur dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang merupakan landasan yuridis konstitusional dan dapat disebut sebagai ideologi negara.
Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga semua peraturan peraturan hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila haruslah dicabut. Perwujudan Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam bentuk peraturan perundang-undangan bersifat imperatif (mengikat) bagi; (1) penyelenggara negara, (2) lembaga kenegaraan (3) lembaga kemasyarakatan, (4) warga negara Indonesia di mana pun berada, dan (5) penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam tinjauan yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana yang tertuang di dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, jo. Tap. MPR No.V/MPR/1973, jo. Tap. MPR No.IX/MPR/1978.
Makna Kesaktian Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan. Melainkan juga Pancasila dapat dikatakan sebagai sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Pancasila mengandung berbagai makna dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna yang pertama Moralitas, sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung pengertian bahwa negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang hanya berdasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karenanya asas sila pertama Pancasila lebih berkaitan dengan legitimasi moralitas.
Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, serta para penegak hukum, haruslah menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis yang kita junjung, juga harus diikutsertakan dengan legitimasi moral. Misalnya, suatu kebijakan sesuai hukum, tapi belum tentu sesuai dengan moral.
Salah satu contoh yang teranyar yakni gaji para pejabat penyelenggara negara itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral).

Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan bernegara.
Makna kedua Kemanusiaan, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” mengandung makna bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab, selain terkait juga dengan nilai-nilai moralitas dalm kehidupan bernegara.
Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan norma-norma baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap lingkungannya.
Oleh Karena itu, manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapat jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asas) manusia. Selain itu, asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Makna ketiga, Keadilan. Sebagai bangsa yang hidup bersama dalam suatu negara, sudah barang tentu keadilan dalam hidup bersama sebagaimana yang terkandung dalam sila II dan V adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil.
Dalam pengertian hal ini juga bahwa hakikatnya manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap lingkungannya, adil terhadap bangsa dan negara, serta adil terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas keadilan. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna keempat, Persatuan. Dalam sila “Persatuan Indonesia” sebagaimana yang terkandung dalam sila III, Pancasila mengandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara berupa suku, ras, kelompok, golongan, dan agama. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi tetap satu sebagaimana yang tertuang dalam slogan negara yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Makna kelima, Demokrasi. Negara adalah dari rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung makna demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pancasila adalah adanya kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinannya, adanya kebebasan berkelompok, adanya kebebasan berpendapat dan menyuarakan opininya, serta kebebasan yang secara moral dan etika harus sesuai dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seandainya nilai-nilai Pancasila tersebut dapat diimplementasikan sebagaimana yang terkandung di dalamnya, baik oleh rakyat biasa maupun para pejabat penyelenggara negara, niscayalah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan secara nyata.
Terlebih lagi hingga kini kita selaku bangsa tentulah malu terhadap para pendiri negara yang telah bersusah payah meletakkan pondasi negara berupa Pancasila, sedangkan kita kini seakan lupa dengan tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila yang sangat sakti tersebut.
Perilaku KKN, kerusuhan antar sesama warga negara, ketidakadilan dan ketimpangan sosial, berebut jabatan, perilaku asusila, serta berbagai perilaku abmoral lainnya adalah segelintir perilaku yang hanya dapat merusak nilai Pancasila itu sendiri. Kini, Marilalah kita kembali junjung tinggi nilai-nilai Pancasila agar kita tetap dipandang sebagai bangsa dan negara yang beradap, beragama, beretika, dan bermoral.
Hendaknya nilai-nilai dasar Pancasila ini sebagai upaya dan sandaran dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab kita masing-masing. Ketika kita mengamalkannya dengan sungguh-sungguh maka isu SARA, perbedaan Etnis, Perilaku KORUP dan ketidak taatan pada kebenaran terhindarkan dengan baik.
Semoga bermanfaat.



Kamis, 29 September 2011

Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah

Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara.
Dalam situasi bangsa dan negara mengalami berbagai krisis, yang dikenal dengan krisis multidimensi, yaitu krisis ekonomi, politik, budaya, hukum dan keamanan, kita menyadari bahwa semua krisis itu bersumber dari krisis moral dan kepercayaan terutama pada mereka yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjadi pemimpin pada hampir semua profesi. Krisis-krisis tersebut mengakibatkan krisis kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya karena para pemimpin belum berhasil membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya krisis ekonomi global yang melanda dunia di mana kita merupakan bagian yang tidak terpisahkan daripadanya. Dewasa ini kita tengah berada di Era Globalisasi yang bercirikan suatu interdependensi, yaitu saling ketergantungan dan ditandai dengan semakin canggihnya sarana komunikasi.
Era Reformasi, keterbukaan dan demokratisasi yang telah kita masuki menumbuhkan harapan-harapan baru kepada masyarakat akan datangnya perubahan ke arah yang lebih baik. Namun di sisi lain, demokrasi yang sedang kita jalani belum diimbangi dengan pemimpin-pemimpin berkualitas yang benar-benar menjalankan amanat kepemimpinannya. Kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan berbagai skandal penyimpangan menghiasi pemberitaan media massa hampir setiap hari.
Untuk itu diperlukan suatu gerakan “back to basics” , kembali ke masalah-masalah dasar kepemimpinan yaitu dengan kembali kepada nilai-nilai kepemimpinan yang diperlukan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Nilai-nilai kepemimpinan itu juga merupakan “roh” nya pemimpin, pedoman sekaligus rambu-rambu peringatan agar pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan efektif dan efisien.

Hakikat Kepemimpinan

Apa sebenarnya hakikat kepemimpian itu ? Ada banyak buku-buku yang ditulis para pakar kepemimpinan dan berbagai definisi yang telah dirumuskan berdasarkan sejumlah pengalaman, penelitian dan pengamatan. Dari berbagai rumusan tentang kepemimpinan, ada rumusan sederhana yang menggambarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan adalah suatu seni (art) dan ilmu (science) untuk mempengaruhi orang lain atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin timbul suatu kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan yang dikehendaki oleh pemimpin, atau tugas-tugas dan tujuan organisasi, secara efektif dan efisien. Seni kepemimpinan mengandung arti suatu kecakapan, kemahiran dan keterampilan tertentu untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpin. Sedangkan ilmu kepemimpinan mengandung sejumlah ajaran atau teori kepemimpinan yang telah dibuktikan berdasarkan pengalaman, yang dapat dipelajari dan diajarkan. Dari berbagai pengertian tentang kepemimpinan dan kualitas yang harus melekat pada diri seorang pemimpin, dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat singkat bahwa : Pemimpin adalah Pengaruh.

Kualitas pemimpin tidak ditentukan oleh besar atau kecil hasil yang dicapainya, tetapi ditentukan oleh kemampuan pemimpin mencapai hasil tersebut dengan perantaraan orang lain, yaitu melalui pengikut-pengikutnya, serta pengaruh yang dipancarkan oleh pemimpin terhadap pengikutnya. Robert Kelley, seorang profesor di bidang bisnis dan konsultan serta pelopor pengajaran Followership and Leadership, dalam bukunya : The Power of Followership (1992) mengungkapkan hasil penelitiannya yang dilakukan selama tujuh tahun bahwa para pengikut (followers) ternyata mampu memberikan kontribusi sebanyak 80 persen bagi keberhasilan setiap proyek, sedangkan pemimpin (leader) memberikan kontribusi  20 persen. Pemimpin harus mampu menggerakkan pengikutnya agar mereka bekerja dengan semangat dan memiliki komitmen untuk mencapai keberhasilan tugas.  

Untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya, seorang pemimpin dapat menggunakan tipe dan gaya kepemimpinan yang otokratis (tipe direktif, semua terpusat pada diri pemimpin), demokratis (partisipatif dan konsultatif), paternalistik (ke-“bapak”-an), birokratis (memimpin berdasarkan aturan), bebas (laissez-faire, melimpahkan kepada anak buah), kepemimpinan yang melayani (servant leadership), atau gabungan dari beberapa tipe kepemimpinan tersebut. Kadang-kadang tipe kepemimpinan itu melekat sebagai karakter dari seorang pemimpin, tetapi bisa juga tipe kepemimpinan tersebut digunakan secara situasional untuk mencapai suatu tujuan pada jangka waktu tertentu.

Dahulu ada anggapan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan bakat sebagai pemimpin (leaders are born). Namun dalam perkembangan zaman sebagian besar pemimpin diciptakan melalui suatu proses, tumbuh dan berkembang dari bawah, ditempa oleh berbagai pengalaman, ketekunan, kerja keras, disiplin yang tinggi serta tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya (leaders are made).
Para pemimpin dikenal bukan hanya karena posisi atau jabatannya tetapi terutama karena ciri-ciri kepemimpinan dan ajaran-ajarannya yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan generasi yang akan datang. Di Indonesia kita mengenal Presiden Soekarno sebagai Proklamator Kemerdekaan dan Pemimpin Bangsa dengan ajarannya Nation and Character Building, Jenderal Soedirman pemimpin pejuang yang tidak mengenal menyerah, Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional dan sebagainya. Di India dikenal tokoh Mahatma Gandhi yang diakui sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah serta penggerak ahimsa (menghindari /anti kekerasan) dan satyagraha (praktek menjalankan kebenaran).



Nilai-Nilai Kepemimpinan

Nilai-nilai kepemimpinan adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya pemimpin yang membuat seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh kepemimpinan maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada artinya.
Beberapa nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut :
·         Integritas dan moralitas.
Integritas menyangkut mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas menyangkut ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket, adat sopan santun. Persyaratan integritas dan moralitas penting untuk menjamin kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) pada Bab V Pasal 133 disebutkan : Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, kompetensi. Di tengah sorotan publik tentang kinerja sebagian pemimpin aparatur pemerintah yang kurang memuaskan dengan terjadinya kasus-kasus korupsi dan berbagai penyimpangan, maka nilai-nilai integritas dan moralitas pemimpin perlu mendapat perhatian utama.   

·         Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus memikul tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi. Ia harus memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan dan mengambil risiko atau pengorbanan untuk kepentingan organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya. Tanggung jawab dan pengorbanan adalah dua hal yang saling berhubungan erat. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi atau keluarga termasuk pengorbanan waktu. Di sisi lain, pemimpin harus melatih bawahan untuk menerima tanggung jawab serta mengawasi pelaksanaan tugasnya.
  
·         Visi Pemimpin.
Kepemimpinan seorang pemimpin nyaris identik dengan visi kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin ibarat seorang nakhoda yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan penumpangnya akan di arahkan. Visi sama pentingnya dengan navigasi dalam pelayaran. Semua awak kapal menjalankan tugasnya masing-masing tetapi hanya nakhoda yang menentukan arah kapal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Visi pemimpin akan menginspirasi tindakan dan membantu membentuk masa depan. Visi adalah masa depan yang realistis, dapat dipercaya dan menjembatani masa kini dan masa depan yang lebih baik sesuai kondisi (sosial politik, ekonomi, budaya) yang diharapkan. Visi juga mengandung harapan-harapan, atau bahkan “mimpi” yang memberi semangat bagi orang-orang yang dipimpin. Pemimpin adalah “pemimpi” yang sanggup mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan. Burt Nanus dalam bukunya Kepemimpinan Visioner mengatakan : “ Tak ada mesin penggerak organisasi yang lebih bertenaga dalam meraih keunggulan dan keberhasilan masa depan, kecuali visi yang menarik, berpengaruh dan dapat diwujudkan serta mendapat dukungan luas.

·         Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan bijaksana. Kebijaksanaan memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan. Pemimpin setiap saat dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk mengambil keputusan karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat dan mereka yang akan terkena dampak keputusannya. Seringkali pemimpin seperti menghadapi “buah simalakama”, sulit untuk menentukan pilihan karena sama-sama berrisiko. Selain upaya manusia menekuni dan mencari kebijaksanaan, perlu upaya meminta kebiaksanaan kepada Tuhan sebagai sumber untuk memutuskan keputusan yang terbaik dan bijaksana.
  • Keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan kehormatan,  integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng. Pemimpin sejati melakukan hal-hal baik dengan wajar tanpa pamrih, bukan sekedar untuk mendapat pujian manusia. Sifat-sifat baiknya dirasakan orang lain sehingga dapat mempengaruhi lingkungan dan masyarakat luas sebagai suatu teladan yang hidup.     
  • Menjaga Kehormatan. Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak melakukan perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia tidak boleh mudah terjebak dalam godaan “Tiga Ta” yaitu “harta” (memperoleh materi atau uang secara tidak sah/ melanggar hukum), “tahta” (mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan sebagal cara) dan “wanita” ( perselingkuhan, hubungan seks di luar pernikahan) yang sering menjatuhkan kehormatan sebagai pemimpin. Budaya lokal (Jawa) juga mengajarkan pemimpin harus menghindari 5 M (Mo Limo ) yaitu maling (mencuri/ korupsi), madat  (narkoba), madon (main perempuan), main (berjudi) dan minum (mabuk alkohol). Setiap daerah atau suku bangsa memiliki rambu-rambu kehormatan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pemimpin. Mahatma Gandhi mengatakan ada 7 dosa sosial yang mematikan yaitu : “kekayaan tanpa kerja”, “kenikmatan tanpa nurani”, “ilmu tanpa kemanusiaan”, “pengetahuan tanpa karakter”, “politik tanpa prinsip”, “bisnis tanpa moralitas” dan “ibadah tanpa pengorbanan.” Semua itu merupakan rambu-rambu peringatan bagi pemimpin untuk menjaga kehormatannya.    
  • Beriman. Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman dapat menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi. Iman juga merupakan perisai untuk meredam keinginan dan nafsu-nafsu duniawi serta godaan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinannya. Penting bagi seorang pemimpin untuk selalu menyadari bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Mahamengetahui dan Mahahadir. “Mahakuasa” berarti tidak ada satu pun yang bisa terjadi tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. “Mahamengetahui” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa pengetahuan dan keterlibatan-Nya. “Mahahadir” berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa Ia ada di sana. Implikasi pemahaman seperti itu bagi pemimpin adalah sesgala sesuatu yang terjadi, termasuk kepemimpinan yang dijalankannya, bukan sekedar kebetulan atau by chance belaka. Pemimpin yang beriman menyadari bahwa semua perbuatannya diketahui dan diawasi Tuhan yang hadir di mana-mana sehingga ia takut mengkhianati amanat sebagai pemimpin. Apabila mengalami kesulitan dan masalah yang berat, ia harus bersandar kepada Tuhan karena tidak ada satu pun kejadian tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. Tuhan itu Pemilik kehidupan, Penyelenggara dan Pemberi apa yang  kita butuhkan.   
  • Kemampuan Berkomunikasi. Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut. Peter Koestenbaum, seorang pakar kepemimpinan, melalui bukunya berjudul : Leadership, The Inner Side of Greatness” (1991) mengatakan bahwa : “Kepemimpinan yang bermoral adalah suatu proses moralitas untuk mencapai suatu tingkat atau keadaan dimana para pemimpin mampu mengikat (dalam arti berkomunikasi dan berinteraksi) dengan yang dipimpinnya berdasarkan kebersamaan motif, nilai dan tujuan – yaitu berdasarkan kebutuhan-kebutuhan hakiki para pengikut maupun pemimpin itu sendiri.” Di sini tampak bahwa antara pemimpin dan yang dipimpin terdapat suatu ikatan kuat sebagai satu keutuhan dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang pemimpin harus mampu membangun komunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya sehingga kepemimpinannya dapat efektif dan efisien. Sebaliknya, kegagalan dalam menjalankan komunikasi dapat menimbulkan keadaan yang kurang harmonis dalam organisasi bahkan dapat menjurus kepada situasi konflik yang mengganggu pelaksanaan tugas. Kemampuan berkomunikasi juga diperlukan untuk menggalang para tokoh masyarakat (tomas), tokoh agama (toga) dan tokoh adat (todat) karena mereka memiliki pengaruh dan pengikut di masyarakat.  
  • Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM. Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas SDM. Ada pepatah kuno yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “Kalau Anda ingin memetik hasil jangka pendek, tanamlah jagung atau padi. Kalau ingin memetik hasil jangka panjang, tanamlah pohon kelapa. Tetapi kalau ingin memetik hasil sepanjang masa, didiklah manusia !” Dari semua sumber daya yang tersedia bagi manajemen – uang, bahan, peralatan dan manusia – maka sumber terpenting adalah manusia. SDM merupakan faktor strategis yang menentukan suatu proses produksi atau pembangunan ekonomi, tetapi ironisnya ada kecenderungan umum untuk lebih memperhatikan investasi aset modal atau finansial, material, dan pembangunan fisik ketimbang aset manusia atau SDM. Dari 16 bab dan 240 pasal dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) hanya ada 1 bab dan 7 pasal yang berkaitan dengan sumber daya manusia  yaitu Bab V tentang Kepegawaian Daerah.

Selain nilai-nilai tersebut di atas ada azas-azas kepemimpinan yang dipakai oleh kepemimpinan TNI dan bisa dipakai juga dalam kepemimpinan aparatur pemerintah. Azas tersebut adalah Takwa (beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa), Ing Ngarsa Sung Tulada (memberi teladan kapada anak buah), Ing Madya Mangun Karsa (menggugah semangat di tengah anak buah), Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang), Waspada Purbawisesa (selalu waspada dan sanggup beri koreksi), Ambeg Parama Arta (memilih yang harus didahulukan), Prasaja (sederhana), Satya (sikap loyal), Gemi Nastiti (membatas pengeluaran pada yang benar-benar diperlukan), Belaka (berani mempertanggungjawabkan tindakannya), Legawa (keikhlasan menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya). Azas Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani bisa disebut sebagai nilai keluwesan seorang pemimpin menghadapi situasi dan pengikut yang berbeda-beda.

Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah
Pemimpin menjalankan peran sentral dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai pemimpin aparatur pemerintah ia menjalankan kepemimpinan birokratis atau “memimpin berdasarkan peraturan” tetapi bisa juga gabungan dengan kepemimpinan demokratis, kepemimpinan yang melayani atau dengan salah satu tipe lainnya. Perilaku pemimpin birokratis ditandai dengan batasan-batasan peraturan dan prosedur bagi pemimpin dan anak buahnya. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini mirip dengan kepemimpinan otokratis, hanya bedanya dalam kepemimpinan otokratis semua perintah terpusat pada pemimpin (leadership center) sedangkan pada kepemimpinan birokratis yang berlaku adalah peraturan-peraturan dan prosedur yang sudah ditentukan. Peraturan-peraturan tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan kepatuhan dari yang dipimpin tetapi juga berlaku sebagai alat kontrol  bagi pemimpin. Bila terjadi kesalahan atau penyimpangan dalam penerapan peraturan dapat timbul sengketa yang kadang-kadang berakhir di pengadilan (PTUN).
Untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi, gaya kepemimpinan seorang pemimpin harus bersifat dinamis serta menonjolkan aspek kolektivitas organisasi, yang pada gilirannya akan menghasilkan dinamika kelompok (group dinamics) yang sangat diperlukan dalam ajang persaingan yang makin keras. Dalam hal ini pemimpin perlu mengembangkan kemampuan komunikasi dan interaksi yang lebih aktif dan positif yang bersifat multidimensi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Bab IV, Pasal 25 butir a disebutkan bahwa Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Selanjutnya pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan :
·         Pemberian pedoman/ arah, pengendalian kebijakan dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan.
·         Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
·         Pemberian perintah dan pemberian motivasi (dorongan).
·         Penyelengaraan pendidikan dan pelatihan.
·         Perencanaan penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
·         Koordinasi antara badan-badan / lembaga terkait (vertikal dan horisontal).
·         Evaluasi secara terus menerus untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Dalam lingkup kepemimpinan yang lebih luas, pemimpin aparatur pemerintah dapat berperan multifungsi sebagai berikut :
1.      Seorang pemimpin yang memegang kendali (komando) dalam pemerintahan,
2.      Seorang pembina (sifat membangun ke arah perbaikan),
3.      Seorang “bapak” (sifat mengayomi),
4.      Seorang “guru” (sifat keteladanan dan tempat bertanya),
5.      Seorang  mitra kerja (teman berdiskusi dan memecahkan masalah).

Lima peran (wajah) pemimpin dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, sebagai pemimpin birokratis ia menjalankan kepemimpinan berdasarkan peraturan dan prosedur yang berlaku. Tetapi semua itu belum cukup bagi seorang pemimpin untuk mempengaruhi pengikutnya melakukan apa yang dikehendaki pemimpin dan tujuan organisasi. Ia harus konsekuen menghayati nilai-nilai kepemimpinan dan mengamalkannya sehingga mendapatkan respek, kepatuhan dan kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu pemimpin harus memiliki standar etika yang tinggi. Etika merupakan kunci dalam menjalankan kepemimpinannya karena ia merupakan dasar dari semua interaksi kelompok dan pembuatan keputusan. Etika profesional mengisyaratkan pemimpin untuk memelihara etika tinggi untuk mengontrol kelakuan pribadi dalam segala situasi, sehingga pegawai dapat bersandar (secara moral dan moril) kepadanya dalam mereka bertindak. Dalam beberapa kasus, kita melihat sebagian pemimpin dengan posisi jabatan strategis tetapi tidak diimbangi dengan etika profesional yang memadai sehingga berakibat kegagalan dalam menjalankan kepemimpinan karena terlibat skandal moralitas atau kriminalitas.
Kedua, seorang pemimpin juga berperan sebagai pembina yaitu membangun kehidupan berorganisasi ke arah yang lebih baik. Ia harus mampu menerapkan sistem reward and punishment dalam membina SDM sehingga dari waktu ke waktu terdapat perbaikan kinerja pribadi, kelompok dan organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan sifat pembina adalah memperbaiki yang salah dan meningkatkan yang benar. Pembina yang baik tidak membiarkan kesalahan kecil berkembang menjadi kesalahan besar, tetapi memperbaiki dan mencegah agar tidak terjadi kesalahan serupa. Di sisi lain, pembina harus mendorong anak buah yang berprestasi agar keberhasilannya dapat memberi kontribusi positif bagi kemajuan organisasi.
Ketiga, pemimpin juga berperan sebagai “bapak” bagi bawahan dan anak buahnya. Pengertian “bapak” di sini mengandung sifat-sifat mengayomi agar bawahan dan anak buah merasa tenang dalam bekerja karena merasa mendapat pengayoman dari pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin memimpin aparatur pemerintah sebagai manusia dengan segala kompleksitas permasalahan termasuk masalah keluarganya. Perhatian terhadap kesejahteraan keluarga merupakan kewajiban pemimpin, karena ia adalah “bapak” bagi masyarakat.
Keempat, pemimpin juga berperan sebagai “guru” dalam arti menjadi teladan bagi anak buah, tempat untuk bertanya serta mendapatkan solusi  untuk mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu kualitas intelektual seorang pemimpin biasanya di atas rata-rata kelas. Seorang pemimpin harus senantiasa belajar, bukan hanya melalui pendidikan formal, tetapi melalui pendidikan sepanjang hayat dengan banyak membaca dan menimba pengetahuan lewat pendidikan non formal.
Kelima, pemimpin juga bisa berperan sebagai mitra atau teman terhadap bawahan dan anak buahnya. Dengan memperlakukan bawahan sebagai mitra dalam berbagai aktivitas (diskusi, olah pikir, kegiatan bersama lainnya) maka pemimpin bisa mendapatkan beberapa manfaat, yaitu komunikasi dan interaksi yang lebih baik, menggunakan kelebihan bawahan untuk meningkatkan kinerja organisasi, dan menggalang kepengikutan (followership) yang lebih luas.

Faktor-faktor yang Berpengaruh
Beberapa faktor berpengaruh yang bisa menimbulkan hambatan dan penyimpangan dalam menjalankan kepemimpinan adalah sebagai berikut :
1.      Berkembangnya faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola dan gaya kehidupan masyarakat yaitu materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk bersenang-senang) dan konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang cenderung ingin memiliki materi lebih (dimensi having) ketimbang menjadi manusia yang lebih bermartabat (dimensi being). Sementara di sisi lain gaji / penghasilan PNS belum dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup keluarga ( perumahan, biaya pendidikan anak-anak dsb).  Seringkali timbul hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau mengikuti “arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan (melanggar aturan), dan sebagainya. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam pelaksanaan kepemimpinan.

2.      Praktek korupsi yang menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna : korup (corrupt) berarti jahat, busuk, rusak, curang dan tidak jujur (dishonest). Korupsi bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau perusahaan, tetapi juga suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk. Pemimpin yang melakukan korupsi akan berakibat bawahan meniru perbuatan korupsi dan terjadi pembusukan dalam organisasi. Bahkan korupsi tidak selalu dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi secara bersama-sama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan pemimpin dan berakibat kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.

3.      Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi mengejar kekuasaan dan uang. Demokratisasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung selain sisi positifnya, juga mengandung kelemahan yaitu hanya mereka yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat maju sebagai calon kepala daerah / wakil. Akibatnya, setelah calon terpilih terpaksa harus memikirkan “balas jasa” kepada sponsor politik dalam bentuk kemudahan-kemudahan usaha yang melanggar aturan, membayar “hutang politik” kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang terkadang mengabaikan segi kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk mengeliminer dampak-dampak negatif tersebut dalam proses demokratisasi yang tengah dijalankan.

Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang Nilai-nilai Kepemimpinan dan Peran Pemimpin Aparatur Pemerintah. Nilai-nilai kepemimpinan sebagai sifat utama dan “roh” pemimpin  harus melekat dalam diri pemimpin karena tanpa “roh” tersebut kepemimpinan tidak ada artinya. Peran pemimpin aparatur pemerintah dengan kepemimpinan birokratis adalah sentral dari seluruh kegiatan organisasi. Selain itu pemimpin dapat berperan juga sebagai pembina, sebagai bapak, sebagai guru dan mitra terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Rabu, 28 September 2011

Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance

Oleh Prof Dr. Mardiasmo*)

PENDAHULUAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Implikasi langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah kebutuhan untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan keuangan yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan tersebut, pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat mendesak dilakukan sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan akuntabilitas publik untuk mencapai good governance (accounting for governance).
Penyusunan APBD berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat.

PEMERINTAH YANG RESPONSIF, TRANSPARAN, DAN AKUNTABEL SEBAGAI BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Bank Dunia memberikan definisi governance sebagai cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan United Nation Development Program (UNDP) lebih memfokuskan pada cara pengelolaan negara dengan mempertimbangkan aspek politik yang mengacu pada proses pembuatan kebijakan;aspek ekonomi yang mengacu pada proses pembuatan keputusan yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, serta peningkatan kualitas hidup; dan yang terakhir aspek administratif yang mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Dengan demikian, orientasi pembangunan sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan good governance. Lebih jauh, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, antara lain transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, efficiency dan effectiveness, serta accountability. Dari karakterikstik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, value for money, dan akuntabilitas.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dituntut lebih responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme yang dapat dilaksanakan daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel serta selanjutnya dapat mewujudkan good governance yaitu: (1) mendengarkan suara atau aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki internal rules dan mekanisme pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling berkaitan dan saling menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.
Manajemen risiko (risk management) merupakan salah satu aspek pengelolaan keuangan penting lainnya dalam pewujudan good governance. Manajemen risiko dilakukan untuk meminimumkan kerugian yang mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian (uncertainty) masa depan.
Risiko yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak saja dialami oleh sektor swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik, termasuk pemerintahan, menghadapi hal yang sama. Risiko akibat ketidakpastian masa depan yang dihadapi oleh organisasi sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi perubahan politik yang tidak menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas politik nasional dan lokal, (2) kemungkinan terjadi perubahan politik dan ekonomi regional dan internasional, seperti krisis ekonomi dan mata uang, depresi ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3) kemungkinan terjadi kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu perekonomian negara, seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan, pajak, bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5) kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.

AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana yang digunakan dalam penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara langsung (diperoleh dengan mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri), maupun tidak langsung (melalui mekanisme perimbangan keuangan). Pola pertanggungjawaban pemerintah daerah sekarang ini lebih bersifat horisontal di mana pemerintah daerah bertanggung jawab baik terhadap DPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal accountability). Namun demikian, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan pertanggungjawabannya kepada DPRD daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya dan penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa keterbukaan (opennes) pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Transparansi informasi terutama informasi keuangan dan fiskal harus dilakukan dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Transparansi dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan informasi kepada publik, proses penganggaran yang terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen mengenai prakiraan fiskal, informasi, dan penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pada saat ini, Pemerintah sudah mempunyai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).

VALUE FOR MONEY
Value for money (VFM)merupakan konsep pengelolaan yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output.

Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok value for money yang saling terkait. Ketiga elemen tersebut perlu ditambah dengan dua elemen lagi yaitu keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial yang sama untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi. Selain keadilan, perlu dilakukan distribusi secara merata. Artinya, penggunaan uang publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan dilakukan secara merata dengan keberpihakan kepada seluruh rakyat (Mardiasmo, 2002a).

KUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.
Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan, universitas, organisasi politik dan organisasi massa, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun paling tidak atas lima komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem pengukuran kinerja, sistem pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability), dan auditing sektor publik yang dapat diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing Sektor Publik.

AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen. Fungsi perencanaan meliputi perencanaan strategik, pemberian informasi biaya, penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi pengukuran kinerja. Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang dibutuhkan serta identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan biaya dengan manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan penilaian efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta jumlah anggaran yang dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM), yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik.
Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi (Pecar, 2002). Perubahan dimulai dari proses rethinking government dan dilanjutkan dengan reinventing government (termasuk didalamnya reinventing local government) yang mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998). Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002). Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan bahwa NPM merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir sama, antara lain desentralisasi (devolved management), pergeseran dari pengendalian input menjadi pengukuran output dan outcome, spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service ethic, pemberian reward and punishment, dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-out (Hood, 1991; Boston et al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).
NPM memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme pengukuran yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut terutama berakar dari mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai, dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).
Penerapan NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public Expenditure Management (PEM) dalam pengalokasian dan penggunaan sumber daya secara responsif, efektif, dan efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). PEM tidak hanya dikaitkan dengan pengeluaran, tetapi juga memperhatikan pendapatan sebagai suatu kesatuan, sehingga kooperasi aparat pajak dengan aparat penganggaran untuk berbagai hal seperti budget forecasting, macroeconomic framework formulation, trade-offs between outright expenditures, dan tax concessions adalah suatu keharusan.
Dalam kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan local factor endowments, institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam perspektif jangka panjang. Penerapan PEM dilaksanakan untuk mewujudkan agregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting (SMA) diterapkan dalam pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi, pengendalian, dan evaluasi kinerja meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi terus berubah karena SMA menekankan continual feedback dan orientasi jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan menilai efektivitasnya (Hoque, 2002).
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas dengan penerapan best value performance framework yang menunjang reformasi layanan publik. Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar yaitu adanya standar nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan, fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan (ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services. Indonesia saat ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia (pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan yang diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury, 2000). Best value juga menyelaraskan prioritas dan fokus nasional dengan prioritas dan fokus daerah sehingga pengembangan layanan publik tidak tumpang tindih.
Best value menitikberatkan pada pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan layanan publik.Best value meningkatkan akuntabilitas dengan cara konsultasi dan musyawarah untuk memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam komunitas daerah. Selain itu, best value juga mensyaratkan adanya evaluasi pada setiap aspek pekerjaan dari berbagai perspektif untuk menilai kinerja unit kerja tersebut. Best value dapat mengadopsi teknik-teknik manajemen sektor privat seperti value planning, value engineering, dan value analysis, serta konsep customer value. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.
Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value akan lebih nyata apabila sistem manajemen strategik yang berbasis Balanced Scorecard (BSC). Sistem manajemen strategik tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem perencanaan strategi, sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem pengimplementasian, dan sistem pemantauan.

SISTEM PENGUKURAN KINERJA
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective, dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik memperhatikan value for money yang mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat (Mardiasmo, 2002a).



Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan uang publik (public costs awareness).
Public Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders, lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif BSCyaitu perspektif financial, customer, internal business dan learning and growth (Kaplan and Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
AKUNTANSI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan dihasilkannya laporan keuangan eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan adalah memberikan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti pertanggungjawaban dan pengelolaan, dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).
Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh sektor publik adalah akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana, akuntansi kas, dan akuntansi accrual. Pada dasarnya kelima teknik tersebut tidak bersifat mutually exclusive. Artinya, penggunaan salah satu teknik akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang lain. Dengan demikian, suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang berbeda-beda, maupun menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama (Jones and Pendlebury, 2000).
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan perubahan teknik atau sistem akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual. Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.
Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya (Mellor, 1996).
Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC, 2000). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.
AUDITING SEKTOR PUBLIK
Pemberian otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif (pemerintah daerah) dan dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik sehingga tujuan tercapai; sedangkan pemeriksaan (audit) dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2001).
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan di daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan, bukan pemeriksaan (audit). Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih pada sektor swasta sehingga fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam melakukan audit pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua adalah masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.
Sehubungan dengan audit pemerintah, terdapat penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards instrumentalities dan environmental risk factors terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. Penghargaan (rewards) yang diterima auditor independen pada saat melakukan audit pemerintah dikelompokkan ke dalam dua bagian penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik (kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan ekstrinsik (peningkatan karir dan status). Sedangkan faktor risiko lingkungan (environmental risk factors) terdiri dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Rincian lebih lanjut tentang faktor penghargaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Penghargaan Intrinsik
Penghargaan Ekstrinsik
Kenikmatan Pribadi
1.     Pekerjaan yang menarik
2.     Stimulasi intelektual
3.     Pekerjaan yang menantang (mental)
4.     Kesempatan pembangunan dan pengembangan pribadi
5.     Kepuasan pribadi
Kesempatan membantu orang lain
1.     Pelayanan masyarakat
2.     Kesempatan membantu personal klien
3.     Kesempatan bertindak sebagai mentor bagi staf audit
Karir
1.     Keamanan/kemapanan kerja yang tinggi
2.     Kesempatan karir jangka panjang yang luas
3.     Peningkatan Kompensasi

Status
1.     Pengakuan positif dari masyarakat
2.     Penghormatan dari masyarakat
3.     Prestis atau nama baik
4.     Meningkatkan status sosial
 Sumber: Lowehnson and Collins (2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rewards instrumentalities dengan segenap komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh positif terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah. KAP melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa dirinya akan memperoleh kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud antara lain berupa kenikmatan meningkatkan kemampuan intelektualitas, kenikmatan meningkatkan atau paling tidak membuka kesempatan pengembangan pribadi serta mempertimbangkan bahwa audit pemerintah merupakan suatu pekerjaan yang menarik dan memberikan tantangan mentalitas profesional. Partner juga berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit dapat meningkatkan karir dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara lebih luas dan terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau
penghasilan yang diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan akan memperoleh pengakuan positif, penghormatan, dan nama baik atau prestis dari masyarakat, serta peningkatan status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo, 2002c).
Sedangkan, faktor risiko lingkungan tidak berpengaruh negatif terhadap motivasi partner untuk melaksanakan audit pemerintah, meskipun hubungan keduanya negatif. Hasil penelitian memiliki implikasi bahwa banyaknya perubahan peraturan atau regulasi yang memunculkan kewenangan baru pemerintah serta iklim politik yang melingkupi kondisi pemerintahan disikapi secara hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima audit pemerintah (Mardiasmo, 2002c).
Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki suatu dimensi politik dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian integral dari setiap analisis. Persaingan politik terkait dengan persaingan pemilu maupun persaingan antar kelompok yang berkepentingan (Carpenter, 1991) meningkatkan permintaan bagi politisi dan atau kelompok yang berkepentingan atas informasi akuntansi yang sudah diaudit (Baber, 1994) seiring dengan adanya pertentangan politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987 dan Baber, 1994) untuk menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya (Baber and Sen, 1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang menghadapi persaingan mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan laporan audit yang diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor oleh pelaku politik yang berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga diperkirakan auditor akan menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik. Bentuk-bentuk auditing yang berbeda dengan yang diminta cenderung menimbulkan konflik dengan auditee dan menciptakan masalah politis (Power, 1999). Tingginya sorotan media pers terhadap kinerja partner juga memiliki korelasi terhadap motivasi partner melaksanakan audit pemerintah.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam kategori auditor internal dan eksternal (Mardiasmo, 2003b). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
Memperkuat Value For Money (VFM) Audit
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata dengan baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu dilakukan. Salah satunya dengan memperluas cakupan audit, tidak hanya audit keuangan (financial audit) tetapi juga value for money audit atau sering disebut performance audit. Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut (Malan et al., 1984).
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi (management audit) dan audit efektivitas (program audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan (3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program, efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program (Malan et al., 1984).
Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Hal ini penting untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Nantinya DPR atau DPRD, menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan demokrasi.

PENUTUP
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang relevan dan handal melalui strategic planning, strategic cost management, dan strategic management accounting untuk dapat menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk penentuan biaya dan harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam kerangka best value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai bentuk akuntabilitas publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif tentang kegiatan operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure) atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan memerlukan perangkat yang berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem akuntansi yang menggunakan sistem pencatatan berpasangan.
Audit terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan seharusnya tidak terbatas pada audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan (agar dapat memberikan pendapat atas kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas lagi dengan audit kinerja. Audit kinerja tersebut merupakan suatu bentuk evaluasi pertanggungjawaban kinerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa value for money benar-benar telah diaplikasikan.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good governance.