Oleh Sekretaris Dirjen OTDA pada Simposium Nasional PBJ VI 2011
I. Latar Belakang
Sejak awal munculnya kebijakan desentralisasi (Decentralisatie Wet 1903), termasuk sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kebijakan desentralisasi telah mengalami beberapa kali perubahan yang ditandai dengan pasang surutnya nilai dasar desentralisasi yang dianut, yang bergerak antara structural efficiency model dan local democracy model. Pergeseran ini merupakan keniscayaan dalam organisasi Negara yang hubungannya bersifat kontinum. Meski pada dasarnya secara ektrim model demokrasi lokal menjauhi prinsip effiseinsi, namun dalam praktek tetap mengakomodasi prinsip effisiensi dengan kadar yang berbeda beda, demikian sebaliknya.
Berdasarkan pengalaman empirik di Indoensia, kedua model tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, dikembangkan model ketiga dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing, yaitu dengan model desentralisasi berkeseimbangan (equilibrium decentralization model). Model desentralisasi berkeseimbangan pada dasarnya menganut pola dilakukan pembagian urusan pemerintahan secara proporsional antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Untuk urusan pemerintahan yang bersifat kebijakan, digunakan model piramida terbalik, artinya pemerintah pusat lebih banyak membuat kebijakan, sedangkan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota lebih banyak menjalankan urusan yang bersifat teknis operasional. Untuk pemerintahan yang bersifat teknis opersional, digunakan model piramida tegak, dalam arti Pemerintah Pusat lebih sedikit menangani urusan pemerintahan tersebut, dan sebaliknya pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota lebih banyak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, telah diakomodir pembagian urusan dimaksud, yakni untuk urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedangkan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan selain urusan yang menjadi kewenangan pusat, sebanyak 31 bidang urusan. Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan effisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah Provisi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan Wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, sebanyak 26 bidang urusan. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Sebagai upaya untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa yang semakin akuntabel dan transparan, beberapa kebijakan telah ditempuh termasuk perubahan regulasi dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diganti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) juga sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa yang bersifat permanen, melalui ULP inilah diharapkan dapat memberikan pelayanan/pembinaan dibidang pengadaan barang/jasa secara professional, karena keanggotaan ULP harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu salah satunya memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa. Terkait kebutuhan tenaga fungsional pengadaan barang dan jasa, hal ini juga merupakan salah satu upaya untuk mendudukan arti pentingnya tenaga fungsional ini dikaitkan dengan beban tugas dan tanggungjawab yang besar. Dengan adanya wacana pembentukan jabatan fungsional pengadaan barang dan jasa pemerintah, tentunya ada kejelasan arah atas keahlian seseorang baik dilihat dari jenjang karier maupun jenjang penggajian yang akan diperolehnya.
II. Dasar Hukum
Berbagai peraturan perundang-undangan yang melatarbelakangi perlunya dibentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat dirujuk, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintah daerah provisi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan asas tugas pembantuan.
2. Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, pada Pasal 23 mengamanatkan bahwa Pelaksanaan tugas dan fungsi staf, pelayanan administratif serta urusan pemerintahan umum lainnya yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi dinas maupun lembaga teknis daerah dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 14 ayat (1) bahwa “K/L/D/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan pelayanan/ pembinaan dibidang Pengadaan Barang/Jasa”. Lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa “ULP pada K/L/D/I dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Instansi.
III. Peluang dan Hambatan Kebutuhan Tenaga Fungsional PBJP pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
1. Peluang
Kebutuhan tenaga fungsional Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pada era otonomi daerah dengan adanya perubahan regulasi undang-undang pemerintahan daerah, sampai dengan saat ini jumlah daerah otonom di Indonesia mencapai 524 daerah otonom. Dari total jumlah 524 tersebut terdiri dari 33 daerah otonom provinsi, 398 daerah otonom kabupaten dan 93 daerah otonom kota. Jumlah tersebut tidak termasuk 6 daerah administratif di Provinsi DKI Jakarta. Apabila memperhatikan jumlah daerah otonom tersebut, merupakan peluang yang sangat besar, baik dari segi formasi jabatan fungsional PBJP maupun dari segi jumlah yang mempunyai keahlian di bidang PBJP. Kalau dihitung secara matematis apabila setiap daerah otonom dibentuk satu ULP, dan setiap ULP beranggotakan 3 orang maka dapat diperoleh angka = 524 x 3 orang = 1.572 orang sebagai pejabat fungsional PBJP.
Peluang lain yang dapat dimanfaatkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baik di daerah otonom provinsi maupun daerah otonom kabupaten/kota, antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan akan jabatan fungsional pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mempunyai keahlian dan jenjang karier yang jelas. Pewadahan jabatan fungsional pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sesuai adalah pada unit layanan pengadaan. Namun demikian keberadaan ULP yang tepat pada struktur organisasi Sekretariat, Dinas atau Badan pada beberapa daerah otonom masih bersifat add hoc. Apabila melihat dari segi ULP sendiri merupakan layanan pengadaan, menurut hemat kami akan lebih pas apabila ditampung pada struktur organisasi Sekretariat Daerah.
2. Hambatan
Upaya untuk memperbaiki keadaan, sering menghadapi berbagai hambatan. Adapun hambatan-hambatan, terkait dengan pembentukan jabatan fungsional PBJP khususnya untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dapat diindentifikasi antara lain sebagai berikut:
a. Hambatan dari segi regulasi, dapat dipetakan antara lain dari segi regulasi yang mengatur jabatan fungsional PBJP masih dalam wacana. Di sisi lain struktur organisasi sebagai wadah jabatan fungsional PBJP masih belum ada kejelasan berada distruktur pelayanan atau teknis.
b. Hambatan dari segi sumber daya manusia, masih kurangnya tenaga yang mempunyai keahlian dalam bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sering terjadi mutasi/ perpindahan jabatan.
c. Hambatan lain dari segi penggajian, dengan adanya jabatan fungsional PBJP, akan menambah pengeluaran Negara/daerah untuk alokasi minimal sebanyak 1.572 orang pegawai.
d. Hambatan dari segi peningkatan kompetensi para pejabat fungsional PBJP dan respon pemerintah daerah dalam hal memberikan dukungan financial untuk mengirimkan peserta diklat, sosialisasi dan studi banding pejabat fungsional PBJP.
IV. Kesimpulan dan Saran
Kebutuhan tenaga fungsional Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), menurut hemat kami merupakan kebutuhan yang perlu segera diwujudkan, mengingat pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, sampai saat ini masih belum dilaksanakan secara profesional. Hal ini masih diketemukan berbagai penyimpangan baik dari aparat pengawasan fungsional intern pemerintah sendiri maupun dari aparat pengawasan fungsional ekstern pemerintah, bahkan dari pengawasan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum.
Terkait hal tersebut, kiranya perlu segera ditindaklanjuti setelah selesai simposium ini, antara lain sebagai berikut:
1. Segera diusulkan berbagai regulasi terkait dengan wacana pembentukan Pejabat Fungsional Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
2. Segera dilakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas hal-hal yang bersifat teknis dengan instansi yang berkompeten, sehingga diperoleh persepsi yang sama.
Demikian hal-hal yang dapat kami sampaikan pada kesempatan Simposium Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (BPJP) ke VI, semoga bermanfaat dan dapat dijadikan bahan pemikiran lebih lanjut.
Demikian kami ucapkan terima kasih dan selamat mengikuti simposium sampai selesai.