Laman

Jumat, 04 November 2011

PERATURAN DAERAH
KABUPATEN MANGGARAI BARAT
NOMOR  8 TAHUN 2011

TENTANG

POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN MANGGARAI BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MANGGARAI BARAT,

Menimbang    :    a    bahwa dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang bersih, serta pelaksanaan pembangunan  di Kabupaten Manggarai Barat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, dipandang perlu menata kembali tata cara Pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih efisien, efektif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan jiwa dan semangat Otonomi Daerah;

        b    bahwa berdasarkan pasal 194 undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 151 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka Pengelolaan Keuangan Daerah perlu diatur dengan Peraturan Daerah;

        c    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Manggarai Barat;

Mengingat    :    1    Undang - Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,  Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);


        2    Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Propinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4271);

        3    Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Repbulik Indonesia Nomor 4355 );

        4    Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang - Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Repbulik Indonesia Nomor 4389);

        5    Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Repbulik Indonesia Nomor 4400);

        6    Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

        7    Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan  Daerah (Lembaraan Negara Republik  Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaraan Negara Republik  Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor 4844);




    8    Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

        9    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

        10    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4416) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21  Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4712);

        11    Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4502);

        12    Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4574);

        13    Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);



        14    Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4576) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5155);

        15    Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4577);

        16    Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4578);

        17    Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Stándar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4585);

        18    Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4593);

        19    Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4614);



        20    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);

        21    Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 4737);

        22    Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang  Organisasi    Perangkat     Daerah           (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

        23    Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4812);

        24    Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2010 tentang  Tata cara Pemberian dan Pemanfaatan  Insentif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 5161);

        25    Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor 5165);



        26    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21  Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

        27    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laboran Pertanggungjawaban Bendahara serta penyampaiannya;

        28    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/ PMK.07/2011 Tentang Tatacara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah;

        29    Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2008 Nomor 4 Seri E Nomor 2);

        30    Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat  Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah Kabupaten Manggarai Barat (Lembaran Daerah  Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2010 Nomor 5  );


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT
dan
BUPATI MANGGARAI BARAT

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah  ini yang dimaksud dengan :
1.    Daerah adalah Kabupaten Manggarai Barat;

2.    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat;

3.    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Barat menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4.    Bupati adalah Bupati Manggarai Barat;

5.    Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur;

6.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Barat

7.    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut;

8.    Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

9.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

10.    Peraturan Daerah adalah peraturan Daerah yang dibentuk oleh DPRD kabupaten Manggarai barat dengan persetujuan bersama  Bupati.

11.    Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah  Bupati yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan Pengelolaan Keuangan Daerah.

12.    Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai Bendahara Umum Daerah.

13.    Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

14.    Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SKPKD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang, yang juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

15.    Organisasi adalah unsur pemerintahan daerah yang terdiri dari DPRD, Bupati/Wakil Bupati dan satuan kerja perangkat daerah.

16.    Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang selanjutnya disebut dengan kepala SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagal bendahara umum daerah.

17.    Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya.

18.    Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik daerah.

19.    Kuasa Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas BUD.

20.    Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.

21.    Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD yang selanjutnya disingkat PPK-SKPD adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD.


22.    Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.

23.    Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

24.    Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

25.    Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri atas satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

26.    Entitas akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

27.    Unit kerja adalah bagian dari SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa program.

28.    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.

29.    Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.

30.    Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat TAPD adalah tim yang dibentuk dengan keputusan Bupati dan diplmpin oleh Sekretaris Daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan Bupati dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah, PPKD dan pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.

31.    Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.

32.    Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagal acuan dalam penyusunan RKA-SKPD sebelum disepakati dengan DPRD.

33.    Rencana Kerja  dan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat RKA-SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan APBD;

34.    Rencana Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat RKA-PPKD adalah rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah.
   
35.    Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan   kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan daiam prakiraan maju.

36.    Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.

37.    Kinerja adalah ketuaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

38.    Penganggaran Terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.

39.    Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

40.    Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka rnelindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.

41.    Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD.

42.    Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan: (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.

43.    Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.

44.    Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.

45.    Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.

46.    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.

47.    Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

48.    Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

49.    Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

50.    Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

51.    Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.


52.    Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

53.    Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

54.    Pembiayaan  Daerah  adalah  semua  penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

55.    Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

56.    Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

57.    Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

58.    Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah dan/atau   kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

59.    Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan guna mendanai kegiatan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

60.    Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, deviden, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan   kemampuan   pemerintah   dalam   rangka   pelayanan   kepada masyarakat.

61.    Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPA-SKPD adalah  dokumen  yang  memuat pendapatan,  belanja  dan  pembiayaan  yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran.

62.    Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat DPA-PPKD adalah dokumen pelaksanaan anggaran Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah.

63.    Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPPA-SKPD adalah dokumen yang memuat perubahan pendapaten, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan perubahan anggaran ofeh pengguna anggaran.

64.    Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

65.    Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat SPD adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP.

66.    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang   diterbitkan   oleh   pejabat  yang   bertanggung  jawab   atas   pelaksanaan kegiatan/bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran.

67.    SPP Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yano diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan uang muka kerja yang bersifat   pengisian   kembali   (revolving)  yang   tidak   dapat  dilakukan   denqan pembayaran langsung.

68.    SPP Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GU adalah dokumen yang diajukan oleh bendaharan pengeluaran untuk permintaan pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.

69.    SPP Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TU adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan tambahan uang persediaan guna melaksanakan kegiatan SKPD yang bersifat mendesak dan tidak dapat digunakan untuk pembayaran langsung dan uang persediaan.








70.    SPP Langsung yang seianjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pembayaran langsung kepada pihak ketiga atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah kerja lainnya dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerima, peruntukan, dan waktu pembayaran tertentu yang dokumennya disiapkan oleh PPTK.

71.    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.

72.    Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan.

73.    Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang seianjutnya disingkat SPM-GU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah dibelanjakan.

74.    Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang seianjutnya disingkat SPM-TU adalah  dokumen  yang  diterbitkan  oleh  pengguna  anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD, karena kebutuhan dananya melebihi dan jumlah batas pagu uang persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan.

75.    Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD kepada pihak ketiga.

76.    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen yang  digunakan  sebagai  dasar pencairan dana  yang  diterbitkan  oleh   BUD berdasarkan SPM.

77.    Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

78.    Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
79.    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah SKPD/unit kerja   pada  SKPD  di   lingkungan   pemerintah  daerah  yang  dibentuk  untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

80.    Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang dianggarkan dan dilaksanakan untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang pekerjaannya dilakukan melalui kontrak tahun jamak.

81.    Bantuan Operasional Sekolah, yang selanjutnya disingkat BOS merupakan dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan peraturan perundang- u nd a nga n .

Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2

Ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
a.    hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;
b.    kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.    penerimaan daerah;
d.    pengeluaran daerah;
e.    kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
f.    kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.

Pasal 3

Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD,  pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, pengelolaan keuangan BLUD dan Pengelolaan Dana Bos.

Bagian Ketiga
Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 4

(1)    Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

(2)    Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti- bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3)    Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(4)    Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

(5)    Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

(6)    Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.

(7)    Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

(8)    Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian  sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

(9)    Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan  pendanaannya  dan/atau  keseimbangan  distribusi  hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif.
(10)    Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

(11)    Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

BAB II
KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 5

(1)    Bupati  selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(2)    Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan:
a.    menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b.    menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;
c.    menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;
d.    menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran;
e.    menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah;
f.    menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
g.    menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah; dan
h.    menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.

(3)    Bupati selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada:
a.    sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah;
b.    kepala SKPKD selaku PPKD; dan
c.    kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang.

(4)    Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Bupati berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang.




Bagian Kedua
Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 6

(1)    Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a berkaitan dengan peran dan fungsinya dalam membantu Bupati menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah.

(2)    Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas koordinasi di bidang:
a.    penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;
b.    penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;
c.    penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
d.    penyusunan Raperda APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
e.    tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan daerah; dan
f.    penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.

(3)    Selain mempunyai tugas koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekretaris daerah mempunyai tugas:
a.    memimpin TAPD;
b.    menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;
c.    menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah;
d.    memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD/DPPA-SKPD; dan
e.    melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati.

(4)    Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada Bupati.

Bagian Ketiga
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Pasal 7

(1)    Kepala SKPKD selaku PPKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b mempunyai tugas:
a.    menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah;
b.    menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c.    melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
d.    melaksanakan fungsi BUD;
e.    menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan
f.    melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati.

(2)    PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang:
a.    menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b.    mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c.    melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d.    memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;
e.    melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f.    menetapkan SPD;
g.    menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
h.    melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
i.    menyajikan informasi keuangan daerah; dan
j.    melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta  penghapusan barang milik daerah.

(3)    PPKD selaku  BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku kuasa BUD.

(4)    PPKD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui sekretaris daerah.

Pasal 8

(1)    Penunjukan kuasa BUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Bupati.

(2)    Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai tugas:
a.    menyiapkan anggaran kas;
b.    menyiapkan SPD;
c.    menerbitkan SP2D;
d.    menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
e.    memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;
f.    mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;


g.    menyimpan uang daerah;
h.    melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi daerah;
i.    melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah;
j.    melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
k.    melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
l.    melakukan penagihan piutang daerah.

(3)    Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada BUD.

Pasal 9

PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya dilingkungan SKPKD untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:
a.    menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
b.    melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
c.    melaksanakan pemungutan pajak daerah;
d.    menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah;
e.    melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
f.    menyajikan informasi keuangan daerah; dan
g.    melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.

Bagian Keempat
Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Pasal 10

(1)    Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c mempunyai tugas:
a.    menyusun RKA-SKPD;
b.    menyusun DPA-SKPD;
c.    melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;
d.    melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e.    melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
f.    melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
g.    mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;
h.    menandatangani SPM;

i.    mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
j.    mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
k.    menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
l.    mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
m.    melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati; dan
n.    bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui sekretaris daerah.

(2)    Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

(3)    Dalam hal melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud ayat (2) Pengguna Anggaran mempunyai tugas dan kewenangan  sebagai berikut :
a.    Menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
b.    Mengumumkan secara luas rencana Umum Pengadaan paling kurang di Website Kabupaten Manggarai Barat;
c.    Menetapkan Panitia dan Pejabat Pengadaan;
d.    Menetapkan Panitia/Pejabat penerima Hasil pekerjaan;
e.    Menetapkan pemenang Lelang;
f.    Megawasi pelaksanaan anggaran;
g.    Mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh dokumen Pengadaan Barang/Jasa di SKPD;
h.    Menetapkan rencana Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa meliputi spesifikasi teknis, HPS dan rancangan kontrak;
i.    Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa
j.    Menanda tangani Kontrak;
k.    Mengusulkan perubahan dan/atau pergeseran paket/lokasi sesuai ketentuan yang berlaku;
l.    Menyampailan laporan perkembangan dan kemajuan pelaksanaan anggaran dan kegiatan kepada Bupati sesuai ketentuan yang berlaku;
m.    Menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan (BAST).

Bagian Kelima
Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
Pasal 11

(1)    Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.

(2)    Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana tersebut pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

(3)    Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati atas usul kepala SKPD.

(4)    Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.    melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;
b.    melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
c.    melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
d.    mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;
e.    menandatangani SPM-LS dan SPM-TU;
f.    mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; dan
g.    melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna anggaran.

(5)    Dalam pengadaan barang/jasa, Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.

(6)    Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada    ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang.




Bagian Keenam
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
Pasal 12

(1)    Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dan kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang dalam melaksanakan program dan kegiatan rnenunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK.

(2)    Penunjukan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan   kompetensi jabatan, anggaran  kegiatan,  beban kerja,  lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

(3)    PPTK yang ditunjuk oleh pejabat pengguna anggaran/pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang.

(4)    PPTK yang ditunjuk oleh kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.

(5)    PPTK mempunyai tugas mencakup:
a.    mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
b.    melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan
c.    menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.

(6)    Dokumen anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan  persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
Pasal 13

(1)    Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam DPA-SKPD, kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai PPK-SKPD.

(2)    PPK-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a.    meneliti kelengkapan SPP-LS pengadaan barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui oleh PPTK;

b.    meneliti kelengkapan SPP-UP, SPP-GU, SPP-TU dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang diajukan oleh bendahara pengeluaran;
c.    melakukan verifikasi SPP;
d.    menyiapkan SPM;
e.    melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
f.    melaksanakan akuntansi SKPD; dan
g.    menyiapkan laporan keuangan SKPD.

(3)    PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.
Bagian Kedelapan
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Pasal 14

(1)    Bupati atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada SKPD.

(2)    Bendahara penerimaan dan bendahara pengetuaran sebagalmana dlmaksud pada ayat (1) adalah pejabat fungsional.

(3)    Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/ pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi.

(4)    Dalam hal PA melimpahkan sebagian kewenangannya kepada KPA, Bupati menetapkan bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu pada unit kerja terkait.

(5)    Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.



BAB III
AZAS UMUM DAN STRUKTUR APBD
Bagian Pertama
Azas Umum APBD
Pasal 15

(1)    APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

(2)    Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.

(3)    APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

(4)    APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 16

(1)    Fungsi otorisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

(2)    Fungsi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

(3)    Fungsi Pengawasan ebagaimana dimaksud paal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

(4)    Fungsi alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangankerja/mengurangi Pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

(5)    Fungsi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

(6)    Fungsi stabilisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Pasal 17

(1)    Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah.

(2)    Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.

(3)    Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pasal 18

(1)    Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.

(2)    Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum.

(3)        Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pasal 19

Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam      Pasal 18 ayat (1) harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.

Pasal 20

(1)    Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)    Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah dianggarkan secara bruto dalam APBD.

Pasal 21

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Bagian Kedua
Struktur APBD
Pasal 22

(1)    Struktur APBD merupakan satu kesatuan terdiri dari:
a.    pendapatan daerah;
b.    belanja daerah; dan
c.    pembiayaan daerah.

(2)    Struktur APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3)    Klasifikasi APBD menurut urusan pemerintahan dan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1)    Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah,yangmenambah ekuitas dana lancar, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.

(2)    Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

(3)    Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) huruf c meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

Pasal 24

(1)    Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan.

(2)    Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja.

(3)    Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyekpem biayaan.

Bagian Ketiga
Pendapatan Daerah
Pasal 25

Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dikelompokan atas:
a.    pendapatan asli daerah;
b.    dana perimbangan; dan
c.    lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pasal 26

(1)    Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a.    pajak daerah;
b.    retribusi daerah;
c.    hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d.    lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

(2)    Jenis pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

(3)    Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
a.    bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b.    bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan

c.    bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

(4)    Jenis Iain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang, dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatanyang mencakup:
a.    hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan;
b.    jasa giro;
c.    pendapatan bunga;
d.    penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e.    penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f.    penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g.    pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h.    pendapatan denda pajak;
i.    pendapatan denda retribusi;
j.    pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k.    pendapatan dari pengembalian;
l.    fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m.    pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n.    pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Pasal 27

(1)    Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a.    dana bagi hasil;
b.    dana alokasi umum; dan
c.    dana alokasi khusus.

(2)    Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
a.    bagi hasil pajak; dan
b.    bagi hasil bukan pajak.

(3)    Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum.

(4)    Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 28

Kelompok Iain-Iain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
a.    hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan,dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat;
b.    dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam;
c.    dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada Kabupaten;
d.    dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
e.    bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

Pasal 29

Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

Pasal 30

(1)    Pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-iain pendapatan asli daerah yang sah yang ditransfer langsung ke kas daerah, dana perimbangan dan Iain-Iain pendapatan daerah yang sah dianggarkan pada SKPKD.

(2)    Retribusi  daerah,   komisi,   potongan,   keuntungan  selisih  nilai tukar rupiah. pendapatan  dari  penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan, hasil penjualan kekayaan    daerah    yang    tidak   dipisahkan    dan    hasil    pemanfaatan    atau pendayagunaan   kekayaan   daerah   yang   tidak   dipisahkan   yang   dibawah penguasaan pengguna anggaran/pengguna barang dianggarkan pada SKPD.


Bagian Keempat
Belanja Daerah
Pasal 31

(1)    Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

(2)    Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya  memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

(3)    Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32

(1)    Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.

(2)    Klasifikasi belanja menurut urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    pendidikan;
b.    kesehatan;
c.    pekerjaan umum;
d.    perumahan rakyat;
e.    penataan ruang;
f.    perencanaan pembangunan;
g.    Perhubungan;
h.    Lingkungan Hidup;
i.    Pertanahan;
j.    Kependudukan dan Catatan Sipil;
k.    Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

l.    Keluarga Berencana dan keluarga Sejahtera;
m.    Sosial
n.    Ketenagakerjaan;
o.    Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
p.    Penanaman Modal
q.    Kebudayaan;
r.    Kepemudaan dan olahraga;
s.    Kesatuan Bangsa dan politik dalam negeri;
t.    Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian;
u.    Ketahanan pangan;
v.    Pemberdayaan masyarakat dan desa;
w.    Statistik;
x.    Kearsipan;
y.    Komunikasi dan informatika; dan
z.    Perpustakaan.

 (3)    Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    pertanian;
b.    kehutanan;
c.    energi dan sumber daya mineral;
d.    pariwisata;
e.    kelautan dan perikanan;
f.    perdagangan;
g.    industrian; dan
h.   Ketransmigrasian.

(4)    Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang diklasifikasikan menurut urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 33

Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
a.    pelayanan umum;
b.    ketertiban dan ketentraman;
c.    ekonomi;
d.    lingkungan hidup;
e.    perumahan dan fasilitas umum;
f.    kesehatan;
g.    pariwisata dan budaya;

h.    pendidikan; dan
i.    perlindungan sosial.

Pasal 34

(1)    Belanja menurut kelompok belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) terdiri dari:
a.    belanja tidak langsung; dan
b.    belanja langsung.


(2)    Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

(3)    Kelompok belanja  langsung sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) huruf b merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaanp rogram dan kegiatan.

Paragraf 1
Belanja Tidak Langsung
Pasal 35

Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a.    belanja pegawai;
b.    bunga;
c.    subsidi;
d.    hibah;
e.    bantuan sosial;
f.    belanja bagi hasil;
g.    bantuan keuangan; dan
h.    belanja tidak terduga.

Pasal 36

(1)    Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(2)    Uang representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan  kepala   daerah   dan  wakil   kepala  daerah  serta   penghasilan   dan penerimaan   lainnya   yang  ditetapkan  sesuai  dengan   peraturan perundang-undangan dianggarkan dalam belanja pegawai.

Pasal 37

(1)    Pemerintah daerah dapat mernberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)    Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud  pada ayat  (1) dilakukan pada pembahasan KUA.

(3)    Tambahan penghasilan sebagaimana diamksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja, tempat tugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan obyektif lainnya.

(4)    Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampaui beban kerja normal.

(5)    Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil.

(6)    Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki resiko tinggi.

(7)    Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan langka.

(8)    Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi.

(9)    Tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberian uang makan.


(10)    Kriteria pemberian tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan Bupati.

Pasal 38

Belanja bunga sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 35 huruf b digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Pasal 39

(1)    Belanja subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak.

(2)    Perusahaan/lembaga  tertentu  sebagaimana  dimaksud  pada   ayat  (1) adalah perusahaan/lembaga  yang  menghasilkan  produk atau jasa  pelayanan  umurn masyarakat.

(3)    Perusahaan/lembaga penerima belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu dilakukan audit sesuai dengan ketentuan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

(4)    Dalam   rangka   pertanggungjawaban   pelaksanaan   APBD,      penerima   subsidi sebagaimana    dimaksud    pada    ayat    (1)    wajib    menyampaikan    laporan pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi kepada Bupati.

(5)    Belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan sesuai dengan keperluan perusahaan/lembaga penerima subsidi dalam peraturan daerah tentamg APBD yang peraturan pelaksanaannya lebih lanjut dituangkan dalam peraturan Bupati.

Pasal 40

(1)    Belanja hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan  yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.

(2)    Belanja Hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati

(3)    Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk barang atau jasa dapat diberikan   kepada   pemerintah  daerah   tertentu   sepanjang  ditetapkan   dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 41

(1)    Hibah kepada pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah.

(2)    Hibah   kepada   perusahan   daerah   bertujuan  untuk   menunjang   peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

(3)    Hibah kepada pemerintah daerah lainnya bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan layanan dasar umum.

(4)    Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan    bertujuan    untuk    meningkatkan    partisipasi    penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional  terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(5)    Belanja hibah kepada pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilaporkan Pemerintah Daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap akhir tahun anggaran.

Pasal 42

(1)    Belanja hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak  secara   terus   menerus  dan  tidak wajib serta  harus  digunakan  sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah.

(2)    Hibah yang diberikan secara tidak mengikat / tidak secara terus menerus diartikan bahwa pemberian hibah tersebut ada batas akhirnya tergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kebutuhan atas kegiatan tersebut dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3)    Naskah perjanjian hibah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat identitas penerima hibah, tujuan pemberian hibah, jumlah uang yang dihibahkan.
Pasal 43

(1)    Belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat.

(2)    Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak  mengikat  serta    memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan Bupati.

(3)    Bantuan sosial yang diberikan secara tidak terus menerus/tidak mengikat diartikan bahwa pemberian bantuan tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun anggaran.

Pasal 44

Belanja bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada Kabupaten atau pendapatan Kabupaten kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 45

(1)    Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf g digunakan  untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada Kabupaten, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya  atau  dari  pemerintah  Kabupaten   kepada   pemerintah  desa  dan pemerintah  daerah  lainnya  dalam  rangka   pemerataan  dan/atau  peningkatan kemampuan keuangan dan kepada partai politik.

(2)    Bantuan keuangan yang bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peruntukan  dan   penggunaannya   diserahkan   sepenuhnya   kepada   pemerintah daerah/ pemerintah desa penerima bantuan.

(3)    Bantuan keuangan yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan.


(4)    Pemberi bantuan bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mensyaratkan   penyediaan   dana   pendamping   dalam   APBD   atau   anggaran pendapatan dan belanja desa penerima bantuan.

Pasal 46

Ketentuan Teknis tentang  tata cara  Perencanaan, Penganggaran/Pengalokasian, Penatausahaan dan Pertanggung -jawaban, Belanja Hibah, Bantuan Sosial, Bantuan keuangan, Dana Alokasi Desa (ADD) dan Dana Tugas Pembantuan kepada Pemerintah Desa diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 47

(1)    Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun- tahun sebelumnya yang telah ditutup.

(2)    Kegiatan yang bersifat tidak biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu untuk tanggap darurat dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat di daerah.

(3)    Pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang sah.

Pasal 48

(1)    Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dianggarkan pada belanja organisasi berkenaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)    Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi      hasil,  belanja  bantuan  keuangan,  dan  belanja  tidak terduga  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h hanya  dianggarkan pada belanja SKPKD.


Paragraf 2
Belanja Langsung
Pasal 49

Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a.    belanja pegawai;
b.    belanja barang dan jasa; dan
c.    belanja modal.

Pasal 50

Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
Pasal 51

(1)    Belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b digunakan untuk menganggarkan pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah, termasuk barang yang akan diserahkan atau dijual kepada masyarakat atau pihak ketiga.

(2)    Belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari -hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai, pemeliharaan, jasa konsultansi, lain-lain pengadaan barang/jasa, dan belanja lainnya yang sejenis serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat atau pihak ketiga.

Pasal 52

(1)    Belanja modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf c digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.

(2)    Nilai aset tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.

(3)    Bupati menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan belanja modal.

Pasal 53

Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah dianggarkan pada belanja SKPD berkenaan.

Pasal 54

(1)     Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dapat mengikat dana anggaran :
a.    untuk 1 (satu) tahun anggaran; atau
b.    lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dalam bentuk kegiatan tahun jamak sesuai peraturan perundang-undangan.


(2)    Kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria sekurang-kurangnya:
a.    pekerjaan konstruksi atas pelaksanaan kegiatan yang secara teknis merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan satu output yang memerlukan waktu penyelesaian lebih dari 12 (duabelas) bulan; atau
b.    pekerjaan atas pelaksanaan kegiatan yang menurut sifatnya harus tetap berlangsung pada pergantian tahun anggaran seperti penanaman benih/bibit, penghijauan, pelayanan perintis laut/udara, makanan dan obat di rumah sakit, layanan pembuangan sampah dan pengadaan jasa cleaning service.

(3)    Penganggaran kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan atas persetujuan DPRD yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama antara Bupati dan DPRD.

(4)    Nota kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan nota kesepakatan KUA dan PPAS pada tahun pertama rencana pelaksanaan kegiatan tahun jamak.


(5)    Nota kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memuat:
a.    nama kegiatan;
b.    jangka waktu pelaksanaan kegiatan;
c.    jumlah anggaran; dan
d.    alokasi anggaran per tahun.

(6)    Jangka waktu penganggaran kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melampaui akhir tahun masa jabatan Bupati berakhir.

Bagian Kelima
Surplus/(Defisit) APBD
Pasal 55

Selisih   antara   anggaran   pendapatan   daerah   dengan   anggaran   belanja   daerah mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD.

Pasal 56

(1)    Surplus APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah.

(2)    Dalam hal APBD diperkirakan surplus,  diutamakan untuk pembayaran pokok utang,   penyertaan   modal   (investasi)   daerah,   pemberian   pinjaman   kepada pemerintah    pusat/pemerintah    aaerah    lain    dan/atau    pendanaan    belanja peningkatan jaminan sosial.

(3)    Pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan dalam bentuk program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang dianggarkan pada SKPD yang secara fungsional terkait dengan tugasnya melaksanakan program dan kegiatan tersebut.
Pasal 57

(1)    Defisit anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah.

(2)    Batas maksimal defisit APBD untuk setiap tahun anggaran berpedoman pada penetapan batas maksimal defisit APBD yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3)    Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah   yang   dipisahkan,   penerimaan   pinjaman,   dan   penerimaan   kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Pasal 58

Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berkenaan.

Bagian Keenam
Pembiayaan Daerah
Pasal 59

Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.

Pasal 60

(1)    Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 mencakup:
a.    sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA);
b.    pencairan dana cadangan;
c.    hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d.    penerimaan pinjaman daerah;
e.    penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan
f.    penerimaan piutang daerah.

(2)    Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 mencakup:
a.    pembentukan dana cadangan;
b.    penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah;
c.    pembayaran pokok utang; dan
d.    pemberian pinjaman daerah.


Pasal 61

(1)    Pembiayaan  neto merupakan  selisih antara  penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan.

(2)    Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.
Paragraf 1
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA)
Pasal 62

Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan Iain-Iain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

Paragraf 2
Dana Cadangan
Pasal 63

(1)    Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran.

(2)    Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah.

(3)    Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan, dan tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan.

(4)    Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersamaan dengan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD.

(5)    Penetapan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati bersamaan dengan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD.

(6)    Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah, kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(7)    Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada rekening tersendiri.

(8)    Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam portofolio dicantumkan sebagai penambah dana cadangan berkenaan dalam daftar dana cadangan pada lampiran rancangan peraturan daerah tentang APBD.

(9)    Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan.

Pasal 64

(1)    Pencairan dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan.

(2)    Jumlah yang dianggarkan tersebut pada ayat (1) yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.

Pasal 65

Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekekning dana cadangan ke rekening kas umum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dianggarkan dalam belanja langsung SKPD pengguna dana cadangan berkenaan, kecuali diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
Pasal 66

Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.

Paragraf 4
Pinjaman Daerah
Pasal 67

Penerimaan pinjaman daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf d digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan.
Paragraf 5
Pemberian Pinjaman Daerah dan
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Daerah
Pasal 68

(1)    Pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf d digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.

(2)    Penerimaan kembali pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf e digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.

Paragraf 6
Penerimaan Piutang Daerah
Pasal 69

Penerimaan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf f digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari pelunasan piutang pihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.

Paragraf 7
Investasi Pemerintah Daerah
Pasal 70

Investasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b digunakan untuk mengelola kekayaan pemerintah daerah yang diinvestasikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


Pasal 71

(1)    Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas) bulan.

(2)    Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup deposito berjangka waktu 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (duabelas) bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN).

(3)    Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 (duabelas) bulan yang terdiri dari investasi permanen dan non-permanen.

(4)    Investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah daerah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha, surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk tujuan menjaga hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.

(5)    Investasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, seperti kerjasama daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha lainnya dan investasi permanen lainnya yang dimiliki pemerintah daerah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

(6)    Investasi non permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali, seperti pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo, dana yang disisihkan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat seperti bantuan modal kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.

(7)    Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8)    Penyertaan modal dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah tercantum dalam peraturan daerah penyertaan modal pada tahun-tahun sebelumnya, tidak diterbitkan peraturan daerah tersendiri sepanjang jumlah anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah tentang penyertaan modal.

(9)    Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal, dilakukan perubahan peraturan daerah tentang penyertaan modal yang berkenaan.

Pasal 72

(1)    Investasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b, dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan.

(2)    Divestasi pemerintah daerah dianggarkan dalam penerimaan pembiayaan pada jenis hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(3)    Divestasi pemerintah daerah yang dialihkan untuk diinvestasikan kernbali dianggarkan dalam   pengeluaran  pembiayaan  pada  jenis  penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.

(4)    Penerimaan hasil atas investasi pemerintah daerah dianggarkan dalam kelompok pendapatan asli daerah pada jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Paragraf 8
Pembayaran Pokok Utang
Pasal 73

Pembayaran pokok utang sebagaimara dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf c digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Bagian Ketujuh
Kode Rekening Penganggaran
Pasal 74

(1)    Setiap urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang dicantumkan dalam APBD menggunakan kode urusan pemerintahan daerah dan kode organisasi.

(2)    Kode pendapatan, kode belanja dan kode pembiayaan yang digunakan dalam penganggaran menggunakan kode akun pendapatan, kode akun belanja, dan kode akun pembiayaan.

(3)    Setiap  program,  kegiatan,   kelompok,  jenis,  obyek serta  rincian  obyek  yang dicantumkan dalam APBD menggunakan kode program, kode kegiatan,  kode kelompok, kode jenis, kode obyek dan kode rincian obyek.

(4)    Untuk tertib penganggaran kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dihimpun menjadi satu kesatuan kode anggaran yang disebut kode rekening.

Pasal 75

Urutan susunan kode rekening APBD dimulai dari kode urusan pemerintahan daerah, kode organisasi, kode program, kode kegiatan, kode akun, kode kelompok, kode jenis, kode obyek, dan kode rincian obyek  ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB IV
PENYUSUNAN RANCANGAN APBD
Bagian Pertama
Azas Umum
Pasal 76

(1)    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD.

(2)    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban APBN.

(3)    Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada kabupaten dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.

(4)    Penyelenggaraan   urusan   pemerintahan   kabupaten yang   penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten.
Pasal 77

(1)    Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang,  barang  dan/atau jasa  pada  tahun  anggaran  yang  berkenaan  harus dianggarkan dalam APBD.

(2)    Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran.

Pasal 78

Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
Pasal 79

(1)    Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.

(2)    RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

(3)    Kewajiban daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

(1)    RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

(2)    Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan.

(3)    RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Bupati.


(4)    Tata cara penyusunan RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kebijakan Umum APBD serta
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Paragraf 1
Kebijakan Umum APBD
Pasal 81

(1)    Bupati menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

(2)    Pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain:
a.    pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah;
b.    prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan;
c.    teknis penyusunan APBD; dan
d.    hal-hal khusus lainnya.

Pasal 82

(1)    Dalam menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud Pasal 81 ayat (1), Bupati dibantu oleh TAPD yang dipimpin oleh sekretaris daerah.

(2)    Rancangan KUA dan rancangan PPAS yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh sekretaris daerah selaku ketua TAPD kepada Bupati, paling lambat pada minggu pertama bulan Juni.

Pasal 83

(1)    Rancangan KUA memuat kondisi ekonomi makro daerah, asumsi penyusunan APBD, kebijakan pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah, kebijakan pembiayaan daerah, dan strategi pencapaiannya.

(2)    Strategi pencapaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat langkah-langkah kongkrit dalam mencapai target.

Pasal 84

Rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) disusun dengan tahapan sebagai berikut:
a.    menentukan skala prioritas pembangunan daerah;
b.    menentukan prioritas program untuk masing-masing urusan yang disinkronisasikan dengan prioritas dan program nasional yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun; dan
c.    menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program/kegiatan.

Paragraf 2
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Pasal 85

(1)    Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) disampaikan Bupati kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.

(2)    Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TAPD bersama Badan Anggaran DPRD.

(3)    Rancangan KUA dan rancangan PPAS yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling
Pasal 86

(1)    KUA dan PPAS yang telah disepakati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) masing-masing dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Bupati dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan.

(2)    Dalam hal Bupati berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani nota kesepakatan KUA dan PPAS.

(3)    Dalam hal Bupati berhalangan tetap, penandatanganan nota kesepakatan KUA dan PPAS dilakukan oleh penjabat yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.


Bagian Keempat
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Pasal 87

(1)    Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), TAPD menyiapkan rancangan surat edaran Bupati tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD.
(2)    Rancangan surat edaran Bupati tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    prioritas pembangunan daerah dan program/kegiatan yang terkait;
b.    alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program/kegiatan SKPD;
c.    batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;
d.    dokumen sebagai lampiran surat edaran meliputi KUA, PPAS, analisis standar belanja dan standar satuan harga.

(3)    Surat edaran Bupati tentang Pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan.


Bagian Kelima
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Pasal 88

(1)    Berdasarkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (3), kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.

(2)    RKA-SKPD  disusun  dengan  menggunakan  pendekatan  kerangka   pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja.

Pasal 89

(1)    Pendekatan   kerangka   pengeluaran  jangka   menengah   daerah   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju.

(2)    Prakiraan maju sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.

(3)    Pendekatan penganggaran terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dilakukan dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dari anggaran.

(4)    Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.

Pasal 90

(1)    Untuk     terlaksananya     penyusunan     RKA-SKPD     berdasarkan     pendekatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dan terciptanya kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua) tahun  anggaran  sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun anggaran berjalan.

(2)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menilai program dan kegiatan yang belum dapat dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan tahun-tahun sebelumnya   untuk   dilaksanakan   dan/atau   diselesaikan   pada   tahun   yang direncanakan atau 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun yang direncanakan.

(3)    Dalam   hal   suatu   program   dan   kegiatan   merupakan   tahun   terakhir   untuk pencapaian prestasi kerja yang ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan pada tahun yang direncanakan.

Pasal 91

(1)    Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.

(2)    Indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan.

(3)    Capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan.

(4)    Analisis  standar  belanja   sebagaimana  dimaksud   pada   ayat  (1)  merupakan penilaian   kewajaran   atas   beban   kerja   dan   biaya   yang   digunakan   untuk melaksanakan suatu kegiatan.

(5)    Standar satuan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan Bupati.

(6)    Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tolak ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.

Pasal 92

(1)    RKA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirind sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.

(2)    RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah, organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan.



Pasal 93

(1)    Pada SKPKD disusun RKA-SKPD dan RKA-PPKD.

(2)    RKA-SKPD sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat program dan kegiatan

(3)    RKA-PPKD digunakan untuk menampung:
a.    penerimaan pajak daerah dan pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan hibah;
b.    belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; dan
c.    penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.

Bagian Keenam
Penyiapan Raperda APBD
Pasal 94

(1)    RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.

(2)    Pembahasan oleh TAPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menelaah:
a.    kesesuaian RKA-SKPD dengan KUA, PPAS, prakiraan maju pada RKA-SKPD tahun berjalan yang disetujui tahun lalu, dan dokumen perencanaan lainnya;
b.    kesesuaian rencana anggaran dengan standar analisis belanja, standar satuan harga;
c.    kelengkapan instrumen pengukuran kinerja yang meliputi capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, dan standar pelayanan minimal;
d.    proyeksi prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya; dan
e.    sinkronisasi program dan kegiatan antar RKA-SKPD.

(3)    Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepala SKPD melakukan penyempurnaan.
Pasal 95

(1)    RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan  daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD.

(2)    Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a.    ringkasan APBD;
b.    ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c.    rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja dan pembiayaan;
d.    rekapitulasi  belanja   menurut  urusan   pemerintahan  daerah,   organisasi, program dan kegiatan;
e.    rekapitulasi  belanja  daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
f.    daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g.    daftar piutang daerah;
h.    daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i.    daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j.    daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset Iain-Iain;
k.    daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan  dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l.    daftar dana cadangan daerah; dan
m.    daftar pinjaman daerah.

Pasal 96

(1) Rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri atas:
a.    ringkasan penjabaran APBD; dan
b.    penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.

(2) Rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD memuat penjelasan sebagai berikut:
a.    untuk pendapatan mencakup dasar hukum;
b.    untuk belanja mencakup lokasi kegiatan dan belanja yang bersifat khusus dan/atau sudah diarahkan penggunaannya, sumber pendanaannya dicantumkan dalam kolom penjelasan; dan
c.    untuk pembiayaan mencakup dasar hukum dan sumber penerimaan pembiayaan untuk kelompok penerimaan pembiayaan dan tujuan pengeluaran pembiayaan untuk kelompok pengeluaran pembiayaan.


Pasal 97

(1)    Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan kepada Bupati.

(2)    Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.

(3)    Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.

(4)    Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
BAB V
PENETAPAN APBD
Bagian Pertama
Penyampaian dan Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Pasal 98

(1)    Bupati  menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober  tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama.

(2)    Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan nota keuangan.

Pasal 99

(1)    Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk mendapatkan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) disesuaikan dengan tata tertib DPRD.

(2)    Pembahasan rancangan peraturan daerah ditekankan pada kesesuaian rancangan APBD dengan KUA dan PPAS.

(3)    Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD, DPRD dapat meminta RKA-SKPD berkenaan dengan program/kegiatan tertentu.
(4)    Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam dokumen persetujuan bersama antara Bupati dan DPRD.

(5)    Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Bupati terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

(6)    Dalam hal Bupati dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas Bupati dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani persetujuan bersama.

(7)    Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud ayat (5) Bupati menyiapkan Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD.

Pasal 100

(1)    Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan Bupati melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya.

(2)    Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja yang bersifat tetap, seperti Belanja Pegawai, layanan jasa dan keperluan kantor sehar-hari.

Pasal 101

(1)    Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (5) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan Bupati terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, Bupati melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

(2)    Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

(3)    Belanja yang bersifat mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa.



(4)    Belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan dan/atau melaksanakan kewajiban kepada fihak ketiga.

Pasal 102

(1)    Rencana pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) disusun dalam rancangan peraturan Bupati  tentang APBD.

(2)    Rancangan peraturan Bupati tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Gubernur.

(3)    Rancangan peraturan Bupati tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a.    ringkasan APBD;
b.    ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c.    rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rindan obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan;
d.    rekapitulasi   belanja   menurut  urusan  pemerintahan  daerah,  organisasi, program dan kegiatan;
e.    rekapitulasi belanja  daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
f.    daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g.    daftar piutang daerah;
h.    daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i.    daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j.    daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset Iain-Iain;
k.    daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l.    daftar dana cadangan daerah; dan
m.    daftar pinjaman daerah.

Pasal 103

Bupati dapat melaksanakan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) setelah  peraturan Bupati tentang APBD tahun berkenaan ditetapkan.



Pasal 104

(1)    Penyampaian rancangan peraturan Bupati untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak DPRD tidak menetapkan keputusan bersama dengan Bupati terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.

(2)    Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan Bupati tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati menetapkan rancangan peraturan Bupati  dimaksud menjadi peraturan Bupati.

Pasal 105

Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 101 ayat (1) dapat dilakukan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang-undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali pemerintah daerah.

Bagian Kedua
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan
Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD
Pasal 106

(1)    Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan rancangan Peraturan bupati  tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh bupati paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi.

(2)    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur serta untuk meneliti sejauh mana APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang  lebih tinggi dan/atau  peraturan daerah  lainnya.

(3)    Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.


(4)    Apabila gubernur menetapkan pemyataan hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah   tentang   APBD   dan   rancangan   peraturan   bupati   tentang  penjabaran APBD sudah sesuai dengan  kepentingan  umum dan  peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati.

(5)    Dalam hal gubernur menyatakan hasil  evaluasi rancangan  peraturan daerah, tentang APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

(6)    Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh bupati dan DPRD, dan bupati tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati, gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati  dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

(7)    Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati dan pernyataan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan peraturan gubernur.

Pasal 107

(1)    Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) Bupati harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama Bupati mencabut peraturan daerah dimaksud.

(2)    Pencabutan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan peraturan daerah tentang APBD.

(3)    Pelaksanaan  pengeluaran  atas pagu APBD tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) ditetapkan dengan peraturan Bupati.

Pasal 108

(1)    Penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) dilakukan Bupati bersama dengan badan anggaran DPRD.

(2)    Hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan DPRD.

(3)    Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentang APBD.


(4)    Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya.

(5)    Sidang paripuma berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yakni setelah sidang paripurna pengambilan keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.

(6)    Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada kepada gubernur paling  lama  3  (tiga)  hari  kerja  setelah  keputusan  tersebut ditetapkan.

(7)    Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani keputusan pimpinan DPRD.

Bagian Ketiga
Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan
Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD
Pasal 109

(1)    Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati  tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh Bupati menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan Bupati daerah tentang penjabaran APBD.

(2)    Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

(3)    Dalam hal Bupati berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas Bupati yang menetapkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD.

(4)    Bupati menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

(5)    Untuk memenuhi asas transparansi, Bupati  wajib menginformasikan substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam lembaran daerah.

BAB VI
PELAKSANAAN APBD
Bagian Pertama
Azas Umum Pelaksanaan APBD
Pasal 110

(1)    Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.

(2)    Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(3)    Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

(4)    Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.

(5)    Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja.

(6)    Pengeluaran   tidak   dapat   dibebankan   pada   anggaran   belanja   jika   untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.

(7)    Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.


(8)    Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(9)    Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.

(10)    Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD
Paragraf 1
Penyiapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD
Pasal 111

(1)    PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan,   memberitahukan   kepada   semua   kepala   SKPD   agar   menyusun rancangan DPA-SKPD.

(2)    Rancangan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merinci sasaran yang hendak dicapai, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap SKPD serta pendapatan yang diperkirakan.

(3)    Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD kepada PPKD paling lama 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 112

(1)    Pada SKPKD disusun DPA-SKPD dan DPA-PPKD

(2)    DPA-SKPD sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat program/kegiatan;

(3)    DPA-PPKD digunakan untuk menampung:
a.    Penerimaan pajak daerah dan pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan hibah;
b.    Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga;
c.    Penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.



Pasal 113

(1)    TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala SKPD paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkannya peraturan Bupati tentang penjabaran APBD.

(2)    Berdasarkan   hasil   verifikasi   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1),   PPKD mengesahkan rancangan DPA-SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah.

(3)    DPA-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada kepala SKPD, satuan kerja pengawasan daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan.

(4)    DPA-SKPD sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (2)  digunakan  sebagai  dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

Paragraf 2
Anggaran Kas
Pasal 114

(1)    Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran kas SKPD.

(2)    Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD.

(3)    Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD.

Pasal 115

(1)    PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan.

(2)    Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.

(3)    Mekanisme  pengelolaan  anggaran  kas  ditetapkan  dengan peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah
Pasal 116

(1)    Semua pendapatan daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah.

(2)    Setiap pendapatan harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah.

Pasal 117

(1)    Setiap   SKPD   yang memungut   pendapatan   daerah   wajib   mengintensifkan pemungutan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya.

(2)    SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah.
Pasal 118

Komisi, rabat, potongan atau pendapatan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung.sebagai akibat dari penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk pendapatan bunga, jasa giro atau pendapatan lain sebagai akibat penyimpanan dana anggaran pada bank serta pendapatan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.

Pasal 119

(1)    Pengembalian atas kelebihan pendapatan dilakukan dengan membebankan pada pendapatan yang bersangkutan untuk pengembalian pendapatan yang terjadi dalam tahun yang sama.

(2)    Untuk   pengembalian   kelebihan   pendapatan  yang   terjadi   pada   tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada belanja tidak terduga.

(3)    Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.
Pasal 120

Semua pendapatan dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah dan dicatat sebagai pendapatan daerah.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah

Pasal 121

(1)    Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.

(2)    Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud.

(3)    Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.

(4)    Pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib yang ditetapkan dalam peraturan Bupati.

(5)    Belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku ketentuan dalam Pasal 101 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 122

(1)    Pemberian subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan dilaksanakan atas persetujuan Bupati.

(2)    Penerima subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan bertanggung jawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan   laporan   pertanggungjawaban  penggunaannya  kepada   Bupati.

(3)    Tata cara pemberian dan pertanggungjawaban subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bantuan  keuangan sebagaimana dimaksud  pada  ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Bupati.


Pasal 123

(1)    Dasar pengeluaran anggaran belanja tidak terduga yang dianggarkan dalam APBD untuk mendanai tanggap darurat, penanggulangan bencana alam dan/ateu bencana sosial, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup ditetapkan dengan keputusan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak keputusan dimaksud ditetapkan.

(2)    Pengeluaran belanja untuk tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kebutuhan yang diusulkan dari instansi/SKPD berkenaan setelah mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas serta menghindari adanya tumpang tindih pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

(3)    Pimpinan instansi/SKPD penerima dana tanggap darurat bertanggungjawab atas penggunaan dana tersebut dan wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan kepada Bupati.

(4)    Tata cara pemberian dan pertanggungjawaban belanja tidak terduga untuk tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam peraturan Bupati.

Pasal 124

Bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening kas negara pada bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh bendahara pengeluaran.



Bagian Kelima
Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah
Paragraf 1
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya
Pasal 126

Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk:
a.    menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja;
b.    mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;
c.    mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.

Pasal 127

(1)    Pelaksanaan kegiatan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf b didasarkan pada DPA-SKPD yang telah disahkan kembali oleh PPKD menjadi DPA Lanjutan SKPD (DPAL-SKPD) tahun anggaran berikutnya.

(2)    Untuk mengesahkan kembali DPA-SKPD menjadi DPAL-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala SKPD menyampaikan laporan akhir realisasi pelaksanaan kegiatan fisik dan non-fisik maupun keuangan kepada PPKD paling lambat pertengahan bulan Desember tahun anggaran berjalan.

(3)    Jumlah anggaran dalam DPAL-SKPD dapat disahkan setelah terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap:
a.    sisa DPA-SKPD yang belum diterbitkan SPD dan/atau belum diterbitkan SP2D atas kegiatan yang bersangkutan;
b.    sisa SPD yang belum diterbitkan SPP, SPM atau SP2D; atau
c.    SP2D yang belum diuangkan.

(4)    DPAL-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan dasar pelaksanaan penyelesaian pekerjaan dan penyelesaian pembayaran.

(5)    Pekerjaan yang dapat dilanjutkan dalam bentuk DPAL memenuhi kriteria :
a.    pekerjaan yang telah ada ikatan perjanjian kontrak pada tahun anggaran berkenaan; dan
b.    keterlambatan penyelesaian pekerjaan diakibatkan bukan karena kelalaian pengguna anggaran/barang atau rekanan, namun karena akibat dari force major.
Paragraf 2
Dana Cadangan
Pasal 128

(1)    Dana cadangan dibukukan dalam rekening tersendiri atas nama dana cadangan pemerintah daerah yang dikelola oleh BUD.

(2)    Dana cadangan tidak dapat digunakan untuk membiayai program dan kegiatan lain diluar yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan.

(3)    Program dan kegiatan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan apabila dana cadangan telah mencukupi untuk melaksanakan program dan kegiatan.

(4)    Untuk pelaksanaan program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dana cedangan dimaksud terlebih dahulu dipindahbukukan ke rekening kas umum daerah.


(5)    Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan.

(6)    Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

(7)    Dalam hal program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah selesai dilaksanakan dan target kinerjanya telah tercapai, maka dana cadangan yang masih tersisa pada rekening dana cadangan, dipindahbukukan ke rekening kas umum daerah.

Pasal 129

(1)    Dalam hal dana cadangan yang ditempatkan pada rekening dana cadangan belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.

(2)    Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menambah jumlah dana cadangan.

(3)    Portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    deposito;
b.    sertifikat bank Indonesia (SBI);
c.    surat perbendaharaan negara (SPN);
d.    surat utang negara (SUN); dan
e.    surat berharga lainnya yang dijamin pemerintah.

(4)    Penatausahaan pelaksanaan  program dan  kegiatan yang dibiayai dari dana cadangan diperlakukan sama dengan penatausahaan pelaksanaan program/ kegiatan lainnya.

Paragraf 3
Investasi
Pasal 130

(1)    Investasi awal dan penambahan investasi dicatat pada rekening penyertaan modal (investasi) daerah.

(2)    Pengurangan, penjualan, dan/atau pengalihan investasi dicatat pada rekening penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan (divestasi modal).

Paragraf 4
Peminjaman Daerah dan Obligasi Daerah
Pasal 131

(1)    Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah.

(2)    Pemerintah daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.

(3)    Pendapatan daerah dan/atau aset daerah (barang milik daerah) tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah.

(4)    Kegiatan yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.

(5)    Kepala SKPKD melakukan penatausahaan atas pinjaman daerah dan obligasi daerah.


Pasal 132

(1)    Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri setiap akhir semester tahun anggaran berjalan.

(2)    Posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.    jumlah penerimaan pinjaman;
b.    pembayaran pinjaman (pokok dan bunga); dan
c.    sisa pinjaman.

Pasal 133

(1)    Pemerintah daerah wajib membayar bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah yang telah jatuh tempo.

(2)    Apabila anggaran yang tersedia dalam APBD/perubahan APBD tidak mencukupi untuk pembayaran bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati dapat melakukan pelampauan pambayaran mendahului perubahan atau setelah perubahan APBD.
Pasal 134

(1)    Pelampauan  pembayaran bunga dan  pokok utang dan/atau obligasi daerah sebelum perubahan APBD dilaporkan kepada DPRD dalam pembahasan awal perubahan APBD.

(2)    Pelampauan pembayaran bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah setelah perubahan APBD dilaporkan kepada DPRD dalam laporan realisasi anggaran.

Pasal 135

(1)    Kepala SKPKD melaksanakan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang dan/atau obligasi daerah yang jatuh tempo.

(2)    Pembayaran bunga pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening belanja bunga.

(3)    Pembayaran denda pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening belanja bunga.

(4)    Pembayaran pokok pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening cicilan pokok utang yang jatuh tempo.
Pasal 136

(1)    Pengelolaan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan kepala Bupati.

(2)    Peraturan  Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya mengatur mengenai:
a.    penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk kebijakan pengendalian resiko;
b.    perencanaan dan penetapan portofolio pinjaman daerah;
c.    penerbitan obligasi daerah;
d.    penjualan obligasi daerah melalui lelang dan/atau tanpa lelang;
e.    pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f.    pelunasan; dan
g.    aktivitas lain dalam rangka pengembangan pasar perdana ke pasar sekunder obligasi daerah.

(3)    Penyusunan peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.


Paragraf 5
Piutang Daerah
Pasal 137

(1)    Setiap piutang daerah diselesaikan seluruhnya dengan tepat waktu.

(2)    PPK-SKPD melakukan penatausahaan atas penerimaan piutang atau tagihan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD.

(3)    Piutang atau tagihan daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya pada saat jatuh tempo, diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4)    Piutang daerah jenis tertentu seperti piutang pajak daerah dan piutang retribusi daerah merupakan prioritas untuk didahulukan penyelesaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 138

(1)    Piutang   daerah   yang   terjadi  sebagai   akibat  hubungan   keperdataan   dapat diselesaikan    dengan    cara    damai,    kecuali    piutang    daerah    yang    cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.

(2)    Piutang daerah dapat dihapuskan dari pembukuan dengan penyelesaian secara mutlak atau  bersyarat,  kecuali cara  penyelesaiannya  diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.

(3)    Penghapusan piutang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
a.    Bupati untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b.    kepala   daerah   dengan   persetujuan   DPRD   untuk   jumlah   lebih   dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 139

(1)    Kepala SKPKD melaksanakan penagihan dan menatausahakan piutang daerah.

(2)    Untuk melaksanakan penagihan piutang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala SKPKD menyiapkan bukti dan administrasi penagihan.

Pasal 140

(1)    Kepala SKPKD setiap bulan melaporkan realisasi penerimaan piutang kepada Bupati.

(2)    Bukti pembayaran piutang SKPKD dari pihak ketiga harus dipisahkan dengan bukti penerimaan kas atas pendapatan pada tahun anggaran berjalan.

BAB VII
PERUBAHAN APBD
Bagian Pertama
Dasar Perubahan APBD
Pasal 141

(1)    Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
a.    perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b.    keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c.    keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
d.    keadaan darurat; dan
e.    keadaan luar biasa.


(2)    Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.

Bagian Kedua
Kebijakan Umum serta
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Perubahan APBD

Pasal 142

(1)    Perubahan APBD disebabkan perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf a dapat berupa terjadinya pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang semula ditetapkan dalam KUA.

(2)    Bupati memformulasikan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf a ke dalam rancangan kebijakan umum perubahan APBD serta PPAS perubahan APBD.

(3)    Dalam rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara lengkap penjelasan mengenai :
a.    perbedaan asumsi dengan KUA yang ditetapkan sebelumnya;
b.    program dan kegiatan yang dapat diusulkan untuk ditampung dalam perubahan APBD dengan mempertimbangkan sisa waktu pelaksanaan APBD tahun anggaran berjalan; dan
c.    capaian target kinerja program dan kegiatan yang harus dikurangi dalam perubahan APBD apabila asumsi KUA tidak tercapai; dan
d.    capaian target kinerja program dan kegiatan yang harus ditingkatkan dalam perubahan APBD apabila melampaui asumsi KUA.

(4)    Rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada DPRD paling lambat minggu pertama bulan Agustus dalam tahun anggaran berjalan.

(5)    Rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), setelah dibahas selanjutnya disepakati menjadi kebijakan umum perubahan APBD serta PPAS perubahan APBD paling lambat minggu kedua bulan Agustus tahun anggaran berjalan.


(6)    Dalam hal persetujuan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD diperkirakan pada akhir bulan September tahun anggaran berjalan, agar dihindari adanya penganggaran kegiatan pembangunan fisik di dalam rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.

(7)    Kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD yang telah disepakati sebagaimana ayat (5), masing-masing dituangkan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Bupati dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan.

Pasal 143

(1)    Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (7), TAPD menyiapkan rancangan surat edaran Bupati perihal pedoman penyusunan RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan/atau kriteria DPA-SKPD yang dapat diubah untuk dianggarkan dalam perubahan APBD sebagai acuan bagi kepala SKPD.

(2)    Rancangan surat edaran Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    PPAS perubahan APBD yang dialokasikan untuk program baru dan/atau kriteria DPA-SKPD yang dapat diubah pada setiap SKPD;
b.    batas waktu penyampaian RKA-SKPD dan/atau DPA-SKPD yang telah diubah kepada PPKD;
c.    dokumen sebagai lampiran meliputi kebijakan umum perubahan APBD, PPAS perubahan APBD, standar analisa belanja dan standar harga.

(3)    Pedoman penyusunan RKA-SKPD dan/atau kriteria DPA-SKPD yang dapat diubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan oleh Bupati  paling lambat minggu ketiga bulan Agustus tahun anggaran berjalan.

Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
Pasal 144

(1)    Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf b serta pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD.

(2)    Pergeseran anggaran antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja berkenaan dapat dilakukan atas persetujuan PPKD.
(3)    Pergeseran anggaran antar obyek belanja dalam jenis belanja berkenaan dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah.

(4)    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya dianggarkan dalam rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.

(5)    Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja dapat dilakukan dengan cara merubah peraturah daerah tentang APBD.

(6)    Anggaran  yang   mengalami  perubahan   baik  berupa  penambahan   dan/atau pengurangan akibat pergeseran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dijelaskan dalam kolom keterangan peraturan Bupati tentang penjabaran perubahan APBD.

(7)    Tata cara pergeseran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Penggunaan Saldo Anggaran Lebih Tahun Sebelumnya
Dalam Perubahan APBD
Pasal 145

(1)    Saldo anggaran lebih tahun sebelumnya merupakan sisa lebih perhitungan tahun anggaran sebelumnya.

(2)    Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf c dapat berupa:
a.    membayar bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah yang melampaui anggaran yang tersedia mendahului perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2);
b.    melunasi seluruh kewajiban bunga dan pokok utang;
c.    mendanai kenaikan gaji dan tunjangan PNS akibat adanya kebijakan pemerintah;
d.    mendanai kegiatan lanjutan (DPAL) yang telah ditetapkan dalam DPA-SKPD tahun sebelumnya, untuk selanjutnya ditampung dalam peraturan daerah tentang perubahan APBD tahun anggaran berikutnya;

e.    mendanai program dan kegiatan baru dengan kriteria harus diselesaikan sampai dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun anggaran berjalan; dan
f.    mendanai kegiatan-kegiatan yang capaian target kinerjanya ditingkatkan dari yang telah ditetapkan semula dalam DPA -SKPD tahun anggaran berjalan yang dapat diselesaikan sampai dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun anggaran berjalan.

(3)    Penggunaan saldo anggaran tahun sebelumnya untuk pendanaan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.

(4)    Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diformulasikan terlebih dahulu dalam DPAL-SKPD.

(5)    Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD.

Bagian Kelima
Pendanaan Keadaan Darurat
Pasal 146

(1)    Keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf d sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
b.    tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c.    berada diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan
d.    memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.

(2)    Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD.

(3)    Pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan belanja tidak terduga.

(4)    Dalam hal belanja tidak terduga tidak mencukupi dapat dilakukan dengan cara:
a.    menggunakan dana dari hasil penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan; dan/atau
b.    memanfaatkan uang kas yang tersedia.

(5)    Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.

(6)    Kriteria belanja untuk keperluan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mencakup:
a.    program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum tersedia dalam tahun anggaran berjalan; dan

b.    keperluan mendesak lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

(7)    Penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.

(8)    Pendanaan keadaan darurat untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD, kecuali untuk kebutuhan tanggap darurat bencana.

(9)    Belanja kebutuhan tanggap darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan pembebanan langsung pada belanja tidak terduga.

(10)    Belanja kebutuhan tanggap darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) digunakan hanya untuk pencarian dan penyelamatan korban bencana, pertolongan darurat, evakuasi korban bencana, kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kese hatan dan penampungan serta tempat hunian sementara.


(11)    Tata    cara    pelaksanaan,    penatausahaan,    dan pertanggung jawaban belanja kebutuhan tanggap darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a.    setelah pernyataan tanggap darurat bencana oleh Bupati, kepala SKPD yang melaksanakan fungsi penanggulangan bencana mengajukan Rencana Kebutuhan Belanja (RKB) tanggap darurat bencana kepada PPKD selaku BUD;
b.    PPKD selaku BUD mencairkan dana tanggap darurat bencana kepada Kepala SKPD yang melaksanakan fungsi penanggulangan bencana paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya RKB;
c.    pencairan dana tanggap darurat bencana dilakukan dengan mekanisme TU dan diserahkan kepada bendahara pengeluaran SKPD yang melaksanakan fungsi penanggulangan bencana;
d.    penggunaan dana tanggap darurat bencana dicatat pada Buku Kas Umum tersendiri oleh Bendahara Pengeluaran pada SKPD yang melaksanakan fungsi penanggulangan bencana;
e.    kepala    SKPD    yang    melaksanakan    fungsi penanggulangan bencana bertanggungjawab secara fisik dan keuangan terhadap penggunaan dana tanggap darurat bencana yang dikelolanya ; dan
f.    pertanggungjawaban atas penggunaan dana tanggap darurat bencana disampaikan oleh kepala SKPD yang melaksanakan fungsi penanggulangan bencana kepada PPKD dengan melampirkan bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap dan surat pernyataan tanggungjawab belanja.

(12)    Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

(13)    Dasar pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD untuk dijadikan dasar pengesahan DPA- SKPD oleh PPKD setelah memperoleh persetujuan sekretaris daerah.

(14)    Pelaksanaan pengeluaran untuk mendanai kegiatan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5) terlebih dahulu diatur dengan peraturan Bupati.




Bagian Keenam
Pendanaan Keadaan Luar Biasa
Pasal 147

(1)    Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) huruf e merupakan keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).

(2)    Persentase 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih (gap) kenaikan atau penurunan antara pendapatan dan belanja dalam APBD.

Pasal 148

(1)    Dalam hal kejadian luar biasa yang menyebabkan estimasi penerimaan dalam APBD mengalami peningkatan lebih dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1), dapat dilakukan penambahan kegiatan baru dan/atau penjadwalan ulang/peningkatan capaian target kinerja program dan kegiatan dalam tahun anggaran berjalan.

(2)    Penambahan kegiatan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD.

(3)    Penjadwalan ulang/peningkatan capaian target kinerja program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA- SKPD.

(4)    RKA-SKPD dan DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)   dan ayat (3) digunakan  sebagai  dasar penyusunan  rancangan  peraturan  daerah tentang perubahan kedua APBD.

Pasal 149

(1)    Dalam hal kejadian luar biasa yang menyebabkan estimasi penerimaan dalam APBD mengalami penurunan lebih dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam   Pasal   147  ayat  (1),   maka   dapat dilakukan penjadwalan ulang/pengurangan capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan.

(2)    Penjadwalan ulang/pengurangan capaian target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan ke dalam DPPA-SKPD.

(3)    DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perubahan kedua APBD.

Bagian Ketujuh
Penyiapan Raperda Perubahan APBD
Pasal 150

(1)    RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.
(2)    Pembahasan oleh TAPD dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dan DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebijakan umum perubahan APBD serta PPA perubahan APBD, prakiraan maju yang direncanakan atau yang telah disetujui dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja,   indikator kinerja, standar analisis belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.
(3)    Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD dan DPPA-SKPD yang memuat program dan kegiatan yang akan dianggarkan dalam perubahan APBD terdapat ketidaksesuaian dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SKPD melakukan penyempurnaan.

Pasal 151

(1)    RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah disempurnakan oleh SKPD, disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.

(2)    RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah dibahas TAPD, dijadikan bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran perubahan APBD oleh PPKD.


Bagian Kedelapan
Penetapan Perubahan APBD
Paragraf 1
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD dan
Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD
Pasal 152

(1)    Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan peraturan Bupati tentang penjabaran perubahan APBD yang disusun oleh PPKD memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang mengalami perubahan dan yang tidak mengalami perubahan.

(2)    Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD beserta lampirannya.

(3)    Lampiran rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :
a.    ringkasan perubahan APBD;
b.    ringkasan perubahan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c.    rincian perubahan APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja dan pembiayaan;
d.    rekapitulasi perubahan belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan kegiatan;
e.    rekapitulasi perubahan belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
f.    daftar perubahan jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g.    daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini; dan
h.    daftar pinjaman daerah.

(4)    Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada   ayat   (1)   sebelum   disampaikan   oleh   Bupati  kepada   DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.

(5)    Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan perubahan APBD tahun anggaran yang direncanakan.

(6)    Penyebarluasan    rancangan    peraturan    daerah    tentang    perubahan    APBD dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

Paragraf 2
Penyampaian, Pembahasan dan Penetapan
Raperda Perubahan APBD
Pasal 153

(1)    Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD, beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran berjalan untuk mendapatkah persetujuan bersama.

(2)    Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan nota keuangan perubahan APBD.

(3)    DPRD    menetapkan    agenda    pembahasan    rancangan    peraturan    daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)    Pembahasan rancangan peraturan daerah berpedoman pada kebijakan umum perubahan APBD serta PPA perubahan APBD yang telah disepakati antara Bupati dan pimpinan DPRD.

(5)    Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan peraturan daerah tentang pertbahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Paragraf 3
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD dan
Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD
Pasal 154

(1)    Tata cara evaluasi dan penetapan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran perubahan APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati  berlaku ketentuan Pasal 89 Peraturan daerah ini.

(2)    Dalam hal Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang Perubahan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran Perubahan APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
(3)    Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh bupati dan DPRD, dan bupati tetap   menetapkan   rancangan   peraturan   daerah   tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran perubahan  APBD   menjadi   peraturan   daerah  dan  peraturan   bupati, gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati dimaksud, sekaligus menyatakan tidak diperkenankan melakukan perubahan APBD dan tetap berlaku APBD tahun anggaran berjalan.

(4)    Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati serta pernyataan berlakunya APBD tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan gubernur.

Pasal 155

(1)    Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (4), Bupati harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama Bupati  mencabut peraturan daerah dimaksud.




(2)    Pencabutan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan   peraturan   daerah   tentang  pencabutan   peraturan   daerah   tentang perubahan APBD.

Paragraf 4
Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD
Pasal 156

(1)    PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang perubahan APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD terhadap program dan kegiatan yang dianggarkan dalam perubahan APBD.

(2)    DPA-SKPD yang mengalami perubahan dalam tahun berjalan seluruhnya harus disalin kembali ke dalam Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPPA-SKPD).


(3)    Dalam DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap rincian obyek pendapatan,   belanja   atau   pembiayaan   yang   mengalami   penambahan   atau pengurangan atau pergeseran harus disertai dengan penjelasan latar belakang perbedaan jumlah anggaran baik sebelum dilakukan perubahan maupun setelah dilakukan perubahan.

(4)    DPPA-SKPD dapat dilaksanakan setelah dibahas TAPD, dan disahkan oleh PPKD berdasarkan persetujuan Sekretaris Daerah.

BAB VIII
PENGELOLAAN KAS

Bagian Pertama
Pengelolaan Penerimaan dan Pengeluaran Kas
Pasal 157

(1)    BUD bertanggung jawab terhadap pengelolaan penerimaan dan pengeluaran kas daerah.

(2)    Untuk mengelola kas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUD membuka rekening kas umum daerah pada bank yang sehat.

(3)    Penunjukan bank yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Bupati.

Pasal 158

Untuk mendekatkan pelayanan pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran kas kepada SKPD atau masyarakat, BUD dapat membuka rekening penerimaan dan rekening pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh Bupati

Pasal 159

(1)    Rekening penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 digunakan untuk menampung penerimaan daerah setiap hari.

(2)    Saldo rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah.
Pasal 160

(1)    Rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diisi dengan dana yang bersumber dari rekening kas umum daerah.

(2)    Jumlah dana yang disediakan pada rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana pengeluaran yang telah ditetapkan dalam APBD.


Bagian Kedua
Pengelolaan Kas Non Anggaran
Pasal 161

(1)    Pengelolaan kas non anggaran mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas yang  tidak  mempengaruhi   anggaran   pendapatan,   belanja,   dan   pembiayaan pemerintah daerah.

(2)    Penerimaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti:
a.    potongan Taspen;
b.    potongan Askes;
c.    potongan PPh;
d.    potongan PPN;
e.    penerimaan titipan uang muka;
f.    penerimaan uang jaminan; dan
g.    penerimaan lainnya yang sejenis.

(3)    Pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti:
a.    penyetoran Taspen;
b.    penyetoran Askes;
c.    penyetoran PPh;
d.    penyetoran PPN;
e.    pengembalian titipan uang muka;
f.    pengembalian uang jaminan; dan
g.    pengeluaran lainnya yang sejenis.

(4)    Penerimaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sebagai penerimaan perhitungan pihak ketiga.

(5)    Pengeluaran   kas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  dilakukan  sebagai pengeluaran perhitungan pihak ketiga.

(6)    Informasi penerimaan kas dan pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disajikan dalam laporan arus kas aktivitas non anggaran.

(7)    Penyajian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

(8)    Tata cara pengelolaan kas non anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati.




BAB IX
PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah
Pasal 162

(1)    Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan/pengeluaran dan orang   atau   badan   yang   menerima atau    menguasai uang/ barang/ kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)    Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penatausahaan Keuangan Daerah
Pasal 163

(1)    Untuk pelaksanaan APBD, Bupati  menetapkan:
a.    pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD;
b.    pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPM;
c.    pejabat yang diberi wewenang mengesahkan SPJ;
d.    pejabat yang diberi wewenang menandatangani SP2D;
e.    bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran;
f.    bendahara pengeluaran yang mengelola belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja tldak terduga, dan pengeluaran pembiayaan pada SKPKD;
g.    bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu SKPD; dan
h.    pejabat lainnya dalam rangka pelaksanaan APBD.

(2)    Penetapan pejabat yang ditunjuk sebagai  kuasa  pengguna  anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

(3)    Pejabat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h mencakup:
a.    PPK-SKPD yang diberi wewenang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD;


b.    PPTK yang diberi wewenang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan suatu program sesuai dengan bidang tugasnya;
c.    pejabat yang diberi wewenang menandatangani surat bukti pemungutan pendapatan daerah;
d.    pejabat yang diberi wewenang menandatangani bukti penerimaan kas dan bukti penerimaan lainnya yang sah; dan
e.    pembantu bendahara penerimaan dan/atau pembantu bendahara pengeluaran.

(5)    Penetapan   pejabat   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dilaksanakan sebelum dimulainya tahun anggaran berkenaan.

Pasal 164

(1)    Untuk mendukung kelancaran tugas perbendaharaan, bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dapat dibantu oleh pembantu bendahara.

(2)    Pembantu   bendahara   penerimaan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) melaksanakan fungsi sebagai kasir atau pembuat dokumen penerimaan.

(3)    Pembantu   bendahara   pengeluaran   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) melaksanakan fungsi sebagai kasir, pembuat dokumen pengeluaran uang serta  pengurusan gaji.

Bagian Ketiga
Penatausahaan Penerimaan
Pasal 165

(1)    Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit.

(2)    Penerimaan daerah yang disetor ke rekening kas umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara:
a.    disetor langsung ke bank oleh pihak ketiga;
b.    disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan dan/atau kantor pos oleh pihak ketiga; dan
c.    disetor melalui bendahara penerimaan oleh pihak ketiga.

 (3)    Benda berharga seperti karcis retribusi sebagai tanda bukti pembayaran oleh pihak ketiga kepada bendahara penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan dan disahkan oleh PPKD.
Pasal 166

Dalam hal daerah yang karena kondisi geografisnya sulit dijangkau dengan komunikasi dan transportasi sehingga melebihi batas waktu penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) ditetapkan dalam peraturan Bupati.

Pasal 167

(1)    Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya.

(2)    Penatausahaan   atas   penerimaan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) menggunakan:
a.    buku kas umum;
b.    buku pembantu per rincian objek penerimaan; dan
c.    buku rekapitulasi penerimaan harian.

(3)    Bendahara  penerimaan  pada  SKPD  wajib mempertanggung -jawabkan  secara administratif atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan   laporan   pertanggungjawaban   penerimaan   kepada   pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
   
(4)    Bendahara   penerimaan  pada  SKPD  wajib  mempertanggung-jawabkan  secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

(5)    PPKD  selaku  BUD  melakukan verifikasi,  evaluasi  dan  analisis  atas  laporan pertanggungjawaban bendahara penerimaan pada SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6)    Verifikasi, evaluasi dan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rangka rekonsiliasi penerimaan.

(7)    Mekanisme dan tatacara verifikasi, evaluasi dan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan Bupati.




Pasal 168

(1)    Dalam hal obyek pendapatan daerah tersebar atas pertimbangan kondisi geografis wajib pajak dan/atau wajib retribusi tidak mungkin membayar kewajibannya langsung pada  badan,  lembaga keuangan  atau  kantor pos yang bertugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi bendahara penerimaan, dapat ditunjuk bendahara penerimaan pembantu.

(2)    Bendahara  penerimaan   pembantu   wajib menyelenggarakan   penatausahaan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya.

(3)    Sistem dan tatacara pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan Pembantu sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 169

(1)    Bupati dapat menunjuk bank, badan, lembaga keuangan atau kantor pos yang bertugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi bendahara penerimaan.

(2)    Bank, badan, lembaga keuangan atau kantor pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetor seluruh uang yang diterimanya ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak uang kas tersebut diterima.

(3)    Atas pertimbangan kondisi geografis yang sulit dijangkau dengan komunikasi dan transportasi, dapat melebihi ketentuan batas waktu penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam peraturan Bupati.

(4)    Bank, badan, lembaga keuangan atau kantor pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertanggungjawabkan seluruh uang kas yang diterimanya kepada Bupati  melalui BUD.

(5)    Tata cara penyetoran dan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan peraturan Bupati.
Pasal 170

(1)    Bendahara penerimaan pembantu wajib menyetor seluruh uang yang diterimanya ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak uang kas tersebut diterima.

(2)    Bendahara penerimaan pembantu mempertanggungjawabkan bukti penerimaan dan bukti penyetoran dari seluruh uang kas yang diterimanya kepada bendahara penerimaan.

Pasal 171

Dalam hal bendahara penerimaan berhalangan, maka:
a.    apabila melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, bendahara penerimaan tersebut wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang ditunjuk untuk melakukan penyetoran  dan  tugas-tugas bendahara  penerimaan atas tanggung jawab bendahara penerimaan yang bersangkutan dengan diketahui kepala SKPD;

b.    apabila melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus ditunjuk pejabat bendahara penerimaan dan diadakan berita acara serah terima;

c.    apabila bendahara penerimaan sesudah 3 (tiga) bulan belum juga dapat melaksanakan tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan din atau berhenti dari jabatan sebagai bendahara penerimaan dan oleh karena itu segera diusulkan penggantinya.


Bagian Keempat
Penatausahaan Pengeluaran
Paragraf 1
Penyediaan Dana
Pasal 172

(1)    Setelah penetapan anggaran kas, PPKD dalam rangka manajemen kas menerbitkan SPD.

(2)    SPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disiapkan oleh kuasa BUD untuk ditandatangani oleh PPKD.

(3)    Pengeluaran kas atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.


(4)    Ketentuan Penerbitan SPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2
Permintaan Pembayaran
Pasal 173

(1)    Berdasarkan   SPD   atau   dokumen   lain   yang   dipersamakan   dengan   SPD sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  172  ayat (1),  bendahara  pengeluaran mengajukan SPP kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD.

(2)    SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.    SPP (Jang Persediaan (SPP-UP);
b.    SPP Ganti Uang (SPP-GU);
c.    SPP Tambahan Uang (SPP-TU); dan
d.    SPP Langsung (SPP-LS).

(3)    Pengajuan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dilampiri dengan daftar rincian rencana penggunaan dana sampai dengan jenis belanja.

(4)    Tatacara dan ketentuan Penerbitan SPP sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati

Pasal 174

(1)    Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan dokumen SPP-UP, SPP-GU, SPP-TU, dan SPP-LS yang diajukan oleh bendahara pengeluaran.
(2)    Penelitian  kelengkapan dokumen SPP sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1) dilaksanakan oleh PPK-SKPD.

(3)    Dalam hal kelengkapan dokumen yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, PPK-SKPD mengembalikan dokumen SPP-UP, SPP-GU, SPP-TU, dan SPP-LS kepada bendahara pengeluaran untuk dilengkapi.

Paragraf 3
Perintah Membayar
Pasal 175

(1)    Dalam hal dokumen SPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2) dinyatakan lengkap dan sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran menerbitkan SPM.



(2)    Dalam hal dokumen SPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2) dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran menolak menerbitkan SPM.

(3)    Dalam hal pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhalangan, yang bersangkutan    dapat    menunjuk    pejabat   yang    diberi    wewenang    untuk menandatangani SPM.

Pasal 176

(1)    Penerbitan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen SPP.

(2)    Penolakan penerbitan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (2) paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPP.

(3)    SPM yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada kuasa BUD untuk penerbitan SP2D.

Pasal 177

Setelah tahun  anggaran  berakhir,  pengguna  anggaran/kuasa  pengguna  anggaran dilarang menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.
Paragraf 4
Pencairan Dana
Pasal 178

(1)    BUD dan/atau Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(2)    Kelengkapan dokumen SPM-UP untuk penerbitan SP2D adalah surat pernyataan tanggung jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.

(3)    Kelengkapan dokumen SPM-GU untuk penerbitan SP2D mencakup:
a.    surat pernyataan tanggung jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
b.    bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap.


(4)    Kelengkapan dokumen SPM-TU untuk penerbitan SP2D adalah surat pernyataan tanggung jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.

(5)    Kelengkapan dokumen SPM-LS untuk penerbitan SP2D mencakup:
a.    surat pernyataan tanggung jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran; dan
b.    bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap sesuai dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(6)    Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, BUD dan/atau kuasa BUD menerbitkan SP2D.

(7)    Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu anggaran, BUD dan/atau kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D.

Pasal 179

(1)    Penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (6) paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPM.

(2)    Penolakan penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (7) paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPM.

Pasal 180

(1)    BUD dan/atau Kuasa    BUD   menyerahkan   SP2D   yang   diterbitkan   untuk   keperluan   uang persediaan/ganti uang persediaan/ tambahan uang persediaan kepada   pengguna anggaran/kuasa penggguna anggaran.

(2)    BUD dan/atau Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan pembayaran langsung kepada pihak ketiga.


Paragraf 5
Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Pasal 181

(1)    Bendahara  pengeluaran secara  administratif wajib mempertanggungjawabkan penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan kepada kepala SKPD melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

(2)    Tatacara dan ketentuan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 182

Dalam melakukan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban yang disampaikan, PPK-SKPD berkewajiban:
a.    meneliti kelengkapan dokumen laporan pertanggung jawaban dan  keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang dilampirkan;
b.    menguji  kebenaran  perhitungan  atas  pengeluaran   per  rincian  obyek yang tercantum dalam ringkasan per rincian obyek;
c.    menghitung pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek; dan
d.    menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan periode sebelumnya.

Pasal 183

(1)    Bendahara pengeluaran pembantu dapat ditunjuk berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.
(2)    Bendahara   pengeluaran   pembantu  wajib  menyelenggarakan  penatausahaan terhadap seluruh pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

(3)    Tatacara dan ketentuan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Pembantu ditetapkan dengan Peraturan Bupati

Pasal 184

(1)    Pengguna anggaran/kuasa pengguna  anggaran melakukan  pemeriksaan kas  yang  dikelola  oleh bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.


(2)    Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran melakukan pemeriksaan kas yang dikelola oleh bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.

(3)    Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan kas.

Pasal 185

Bendahara pengeluaran yang mengelola belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja  bagi  hasil,  bantuan  keuangan,  belanja  tidak terduga,  dan  pembiayaan melakukan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 186

Pengisian  dokumen  penatausahaan  bendahara  pengeluaran   dapat  menggunakan aplikasi komputer dan/atau alat elektronik lainnya.

Pasal 187

Dalam hal bendahara pengeluaran berhalangan, maka:
a.    apabila melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, bendahara pengeluaran tersebut wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran dan tugas-tugas bendahara pengeluaran atas tanggung jawab bendahara pengeluaran yang bersangkutan dengan diketahui kepala SKPD;
b.    apabila melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus ditunjuk pejabat bendahara pengeluaran dan diadakan berita acara serah  terima;
c.    apabila bendahara  pengeluaran sesudah 3 (tiga ) bulan belum juga dapat melaksanakan tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan sebagai bendahara pengeluaran dan oleh karena itu segera diusulkan penggantinya.

Bagian Kelima
Penatausahaan Pendanaan Tugas Pembantuan
Pasal 188

(1)    Berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Menteri/Pejabat lainnya dari pemerintah dan Gubernur,  maka bupati menetapkan pejabat kuasa pengguna  anggaran  pada  SKPD yang menandatangani SPM/menguji SPP, PPTK  dan  bendahara  pengeluaran  yang  melaksanakan tugas pembantuan di kabupaten.

(2)    Bupati  melimpahkan kewenangan kepada kepala desa untuk menetapkan pejabat kuasa  pengguna anggaran pada lingkungan pemerintah desa untuk menandatangani  SPM/menguji SPP,  PPTK dan  bendahara  pengeluaran  untuk melaksanakan tugas pembantuan di Pemerintah desa.

(3)    Administrasi penatausahaan dan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan dana tugas pembantuan provinsi di kabupaten dilakukan secara terpisah dari administrasi penatausahaan dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten.

(4)    Administrasi penatausahaan dan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan dana tugas pembantuan kabupaten di pemerintah desa dilakukan secara terpisah   dari   administrasi   penatausahaan   dan   laporan   pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa.

Pasal 189

(1)    PPTK pada SKPD kabupaten yang ditetapkan sebagai penanggungjawab tugas pembantuan provinsi menyiapkan dokumen SPP-LS untuk disampaikan kepada bendahara pengeluaran pada SKPD  kabupaten berkenaan dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran.

(2)    Bendahara pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan SPP-LS disertai dengan lampiran yang dipersyaratkan kepada kepala SKPD berkenaan setetah ditandatangani oleh PPTK tugas pembantuan.

Pasal 190

(1)    PPTK pada kantor pemerintah desa yang ditetapkan sebagai penanggungjawab tugas pembantuan provinsi dan kabupaten menyiapkan dokumen SPP-LS untuk disampaikan kepada bendahara pengeluaran/ bendahara desa pada kantor pemerintah desa berkenaan dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran.

(2)    Bendahara pengeluaran/bendahara desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan SPP-LS disertai dengan lampiran yang dipersyaratkan kepada kepala desa berkenaan setelah ditandatangani oleh PPTK tugas pembantuan.




Pasal 191

(1)    Pedoman penatausahaan pelaksanaan pendanaan tugas pembantuan provinsi di kabupaten dan desa ditetapkan dalam peraturan gubernur.

(2)    Pedoman penatausahaan pelaksanaan pendanaan tugas pembantuan kabupaten di desa ditetapkan dalam peraturan bupati.

BAB X
AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Sistem akuntansi

Pasal 192

(1)    Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan.
(2)    Sistem akuntansi sebagaimana dimaksud ayat (1)  paling sedikit meliputi:
a.    prosedur akuntansi penerimaan kas;
b.    prosedur akuntansi pengeluaran kas;
c.    prosedur akuntansi aset;
d.    prosedur akuntansi selain kas.
(3)    Sistem akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan prinsip pengendalian intern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 193

Sistem, Prosedur dan Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati

BAB XI
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBD

Bagian Pertama
Laporan Realisasi Semester Pertama
Anggaran Pendapatan dan Belanja

Pasal 194

(1)    Kepala SKPD menyusun laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.

(2)    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(3)    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disiapkan oleh PPK-SKPD dan disampaikan  kepada   pejabat pengguna  anggaran  untuk  ditetapkan  sebagai laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD serta prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.

(4)    Pejabat pengguna anggaran menyampaikan laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD serta prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada PPKD sebagai dasar penyusunan laporan realisasi semester pertama APBD paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.

Pasal 195

(1)    PPKD menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dengan cara menggabungkan seluruh laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (4) paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berkenaan dan disampaikan kepada sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
(2)    Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Bupati paling lambat minggu ketiga bulan Juli tahun anggaran berkenaan untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(3)    Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berkenaan.

Bagian Kedua
Laporan Tahunan
Pasal 196

(1)    PPK-SKPD menyiapkan laporan keuangan SKPD tahun anggaran berkenaan dan disampaikan    kepada    kepala    SKPD    untuk    ditetapkan    sebagai    laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran SKPD.

(2)    Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPKD sebagai dasar penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah.

(3)    Laporan keuangan SKPD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Bupati melalui PPKD paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 197

(1)    PPKD    menyusun    laporan    keuangan    pemerintah    daerah    dengan    cara menggabungkan laporan-laporan keuangan SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran berkenaan.

(2)    Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati melalui sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan  keuangan daerah dalam rangka  memenuhi  pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

(3)    Laporan keuangan sebagaimana dimaksud ayat (2) disampaikan oleh Bupati kepada Badan Pemeriksa Keuangan. (BPK) untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah  tahun anggaran berakhir.


(4)    Bupati memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan hasil pemeriksaan BPK.

Pasal 198

(1)    Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(2)    Rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat laporan keuangan yang meliputi laporan  realisasi  anggaran,  neraca,   laporan  arus kas, catatan  atas  laporan keuangan, serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah dlperiksa BPK dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.

Pasal 199

Tatacara dan prosedur penyusunan Laporan keuangan Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 200

(1)    Agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) ditentukan oleh DPRD.

(2)    Persetujuan    bersama    terhadap    rancangan    peraturan    daerah    tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh DPRD paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak rancangan peraturan daerah diterima.
Pasal 201

(1)    Laporan keuangan pemerintah daerah wajib dipublikasikan.

(2)    Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK dan telah diundangkan dalam lembaran daerah.

Bagian Ketiga

Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
dan Peraturan Bupati tentang
Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Pasal 202

(1)    Rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah disetujul bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati tentang  penjabaran   pertanggungjawaban   pelaksanaan  APBD sebelum ditetapkan oleh bupati paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi.

(2)    Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur kepada bupati paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)    Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan kepentingan  umum  dan  peraturan  perundang-undangan  yang   lebih  tinggi, bupati menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota.
Pasal 203

(1)    Dalam hal gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

(2)    Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh bupati dan DPRD, dan bupati tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati, Gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 204

Bupati menyampaikan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada Gubernur dan tembusannya kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri.

BAB XII
PENGELOLAAN BARANG MILIK  DAERAH
Pasal 205

(1)    Barang milik daerah diperoleh atas beban APBD dan perolehan lainnya yang sah.

(2)    Perolehan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan/atau yang sejenis;
b.    barang yang diperoleh dari kontrak kerja sama, kontrak bagi hasil, dan kerja sama pemanfaatan barang milik daerah;
c.    barang yang diperoleh berdasarkan penetapan karena peraturan perundang-undangan;
d.    barang yang diperoleh dari putusan pengadilan.



Pasal 206

(1)    Pengelolaan barang milik daerah meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang mencakup perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan dan pengamanan.

(2)    Ketentuan Pengelolaan barang Milik daerah diatur tersendiri dalam  peraturan daerah tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dan tetap memperhatikan dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 207

Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada SKPD lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Pemerintah Desa yang dikoordinasikan oleh SKPKD.

Pasal 208

(1)    Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan.

(2)    Pemberian   pedoman   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   mencakup perencanaan dan penyusunan RKA-SKPD, Penyusunan DPA-SKPD, Anggaran Kas, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban keuangan daerah, pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan pengelolaan keuangan daerah.

(3)    Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan dan penyusunan RKA-SKPD, Penyusunan DPA-SKPD, Anggaran Kas, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, serta pertanggungjawaban keuangan daerah yang   dilaksanakan   secara   berkala   dan/atau   sewaktu-waktu,   baik   secara menyeluruh kepada seluruh SKPD maupun kepada SKPD tertentu sesuai dengan kebutuhan.

(4)    Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkala bagi Kepala SKPD, Kepala Unit Kerja, PPTK, PPK-SKPD, dan pegawai negeri sipil daerah serta kepada    bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.

Pasal 209

(1)    DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD.

(2)    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.
Pasal 210

Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Pengendalian Intern

Pasal 211

(1)    Dalam rangka meningkatkan kinerja transparansi dan akuntabllitas pengelolaan keuangan daerah, Bupati mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat.

(2)    Pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan.
(3)    Pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat;
b.    terselenggaranya penilaian risiko;
c.    terselenggaranya aktivitas pengendalian;
d.    terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan
e.    terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.

(4)    Penyelenggaraan pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Ektern

Pasal 212

Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan oleh BPK RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XIV
KERUGIAN DAERAH

Pasal 213

(1)    Setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian   seseorang   harus   segera   diselesaikan   sesuai   dengan   ketentuan perundang-undangan.

(2)    Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya  secara  langsung  merugikan  keuangan  daerah,  wajib  mengganti kerugian tersebut.

(3)    Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.

Pasal 214

(1)    Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala SKPD kepada Bupati dan diberitahukan kepada BPK paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.

(2)    Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 segera dimintakan surat pemyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.

(3)    Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat   menjamin   pengembalian   kerugian   daerah,   kepala   daerah   segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 215

(1)    Dalam hal bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang  dikenai  tuntutan  ganti  kerugian   daerah  berada  dalam  pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih  kepada   pengampu/yang  memperoleh  hak/ahli  waris,  terbatas  pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan.

(2)    Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian daerah.
Pasal 216

(1)    Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam peraturan Daerah ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.


(2)    Ketentuan penyelesaian kerugian daerah dalam peraturan Daerah ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 217

(1)    Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi administrative dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)    Putusan pidana atas kerugian daerah terhadap bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara dan pejabat lain tidak membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan ganti rugi.

Pasal 218

Kewajiban bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.

Pasal 219

(1)    Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.

(2)    Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 220

(1)    Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri sipil bukan bendahara ditetapkan oleh Bupati.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur  dengan peraturan daerah tersendiri.

BAB XV
PENGELOLAAN KEUANGAN
BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
Pasal 221

Bupati dapat menetapkan SKPD atau unit kerja pada SKPD yang tugas pokok dan fungsinya bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum.

Pasal 222

(1)    Dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 ayat (1), SKPD atau Unit Kerja pada SKPD yang menerapkan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.

(2)    Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)  diatur dengan peraturan daerah tersendiri dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku


BAB XVI
PENGELOLAAN DANA 
BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH

Pasal  223

(1)    Pejabat yang ditunjuk untuk mengelola dana BOS sekolah negeri sebagai berikut:
a.    Bupati  menetapkan kuasa pengguna anggaran atas usul kepala SKPD Pendidikan selaku Pengguna Anggaran; dan
b.    kepala sekolah ditunjuk sebagai PPTK.

(2)    Tugas PPTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mengelola dana BOS yang ditransfer oleh bendahara pengeluaran pembantu pada SKPD Pendidikan.

Pasal  224

(1)    Dana BOS untuk sekolah negeri dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan.

(2)    Dana BOS untuk sekolah swasta dianggarkan pada jenis belanja hibah.

(3)    RKA-SKPD untuk program/kegiatan dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh SKPD Pendidikan.

(4)    RKA-PPKD untuk belanja hibah dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh PPKD.

Pasal  225

(1)    Pencairan dana BOS untuk sekolah negeri dilakukan dengan mekanisme TU.

(2)    Pencairan dana BOS untuk sekolah swasta dilakukan dengan mekanisme LS.

Pasal  226

(1)    Penyaluran dana BOS bagi sekolah negeri dilakukan setiap triwulan oleh bendahara pengeluaran pembantu SKPD Pendidikan melalui rekening masing-masing sekolah.

(2)    Penyaluran dana BOS bagi sekolah swasta dilakukan setiap triwulan oleh BUD melalui rekening masing-masing sekolah.

(3)    Penyaluran dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) triwulan berikutnya dapat dilakukan tanpa menunggu penyampaian laporan penggunaan dana BOS triwulan sebelumnya.

Pasal  227

(1)    Penyaluran dana BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (2) didasarkan atas Naskah perjanjian hibah daerah.

(2)    Naskah perjanjian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani bersama antara Bupati dengan kepala sekolah swasta.

(3)    Dalam rangka percepatan penyaluran dana hibah, kepala SKPD Pendidikan atas nama Bupati dapat menandatangani Naskah perjanjian hibah.

(4)    Naskah perjanjian hibah sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan 1 (satu) kali untuk keperluan 1 (satu) tahun anggaran.


Pasal 228

(1)    Kepala sekolah negeri menyampaikan laporan penggunaan dana BOS triwulan I dan triwulan II paling lambat tanggal 10 Juli sedangkan untuk triwulan III dan triwulan IV paling lambat tanggal 20 Desember tahun berkenaan kepada bendahara pengeluaran pembantu.

(2)    Laporan penggunaan dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap.

(3)    Laporan penggunaan dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disahkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran setelah diverifikasi oleh pejabat penatausahaan keuangan SKPD Pendidikan.

(4)    Kepala sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab atas penggunaan dana BOS yang diterima setiap triwulan.
Pasal  229

Tatacara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan, Penatausahaan  dan pertanggungjawaban dana BOS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.


BAB XVII
KETENTUAN PELAKSANAAN

Pasal 230

Ketentuan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus sudah diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah  ini diundangkan.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 231

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal  diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Manggarai Barat.

Ditetapkan di Labuan Bajo
pada tanggal 25 Juli  2011
Bupati Manggarai Barat,


AGUSTINUS CH. DULA

       Diundangkan di Labuan Bajo

pada tanggal 25 Juli   2011
Sekretaris Daerah
Kabupaten Manggarai Barat,


MBON ROFINUS


Lembaran Daerah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2011  Nomor  8


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
KABUPATEN MANGGARAI BARAT
NOMOR  8 TAHUN 2011

TENTANG

POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN MANGGARAI BARAT

I.    UMUM

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dikuti dengan  perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Selain ketentuan tersebut diatas, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Hal mendasar yang melatarbelakangi Peraturan Daerah di bidang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keinginan untuk mengelola keuangan daerah secara efektif  dan efisien. Ide dasar tersebut tentunya ingin dilaksanakan melalui tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.
 Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya satu peraturan pelaksanaan yang komprehensif dan terpadu (omnibus regulation) mulai dari Pemerintah pusat samapi di Daerah dengan suatu tujuan agar memudahkan dalam pelaksanaannya dan tidak menimbulkan multi tafsir dalam penerapannya Pengelolaan Keuangan di Daerah. Dalam Peraturan Daerah ini setidaknya  memuat kebijakan daerah terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan diatas maka pokok-pokok muatan dalam peraturan Daerah ini mencakup :

1.    Perencanaan dan Penganggaran

Pengaturan aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam  penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masayarakat. Oleh karenanya dalam proses dan mekanisme penyusunan APBD yang diatur dalam peraturan daerah ini akan memperjelas siapa bertanggung jawab apa sebagai landasan pertanggungjawaban baik antara Pemerintah Daerah dan DPRD, maupun diinternal  di tubuh Pemerintah Daerah sendiri.

Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA- SKPD) harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dengan  manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung makna bahwa setiap penyelenggara negara di daerah berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber dayanya.



APBD merupakan instrumen yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah.  Untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, maka dalam peraturan daerah ini diatur landasan administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis pengganggaran yang harus diikuti secara tertib dan taat azas. Selain itu dalam rangka disiplin anggaran maka penyusunan anggaran baik “pendapatan” maupun “belanja” juga harus mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya apakah itu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah atau Keputusan  Bupati. Dengan demikian  dalam proses penyusunan APBD pemerintah daerah harus mengikuti semua tahapan dan prosedur administratif yang ditetapkan.

Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran daerah antara lain bahwa (1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; (2) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; (3) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.

Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak Daerah dan retribusi Daerah atau pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran “horisontal” dan kewajaran “vertikal”. Prinsip dari kewajaran horisontal menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama, sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak Daerah/restribusi Daerah untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.

Selain itu dalam konteks belanja, Pemerintah Daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum.

Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran  perlu diperhatikan (1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

Aspek penting lainnya yang diatur dalam peraturan pemerintah ini adalah keterkaitan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning) dengan penganggaran (budget) oleh pemerintah daerah, agar sinkron dengan berbagai kebijakan pemerintah sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan program dan kegiatan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia, mengalokasikan sumber daya secara tepat sesuai kebijakan pemerintah dan mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik. Oleh karena itu pengaturan penyusunan anggaran merupakan hal penting agar dapat berfungsi sebagaimana diharapkan yaitu (1) dalam konteks kebijakan, anggaran memberikan arah kebijakan perekonomian dan menggambarkan secara tegas penggunaan sumberdaya yang dimiliki masyarakat; (2) fungsi utama anggaran adalah untuk mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian; (3) anggaran menjadi sarana sekaligus pengendali untuk mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal di suatu daerah.



Penyusunan APBD diawali dengan penyampaian Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (musrembangda), penyusunan Rencana Kerja (renja) SKPD, Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), penyusunan kebijakan umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Semua  proses dan dokumen tersebut harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana Kerja dan Anggaran ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana Kerja dan Anggaran ini kemudian disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada DPRD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama. APBD yang telah disetujui bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah disampaikan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah untuk dievaluasi sesuai ketentuan yang berlaku. APBD dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Jika DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggi-tinginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikat dan wajib.





2.    Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah

 Bupati Selaku Pemegang Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.

Perubahan APBD dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD, terdapat keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta terjadi keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. Selain itu dalam keadaan darurat pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

Beberapa aspek pelaksanaan yang diatur Peraturan Daerah ini adalah memberikan  peran dan tanggung jawab yang lebih besar para pejabat pelaksana anggaran, sistem pengawasan pengeluaran dan sistem pembayaran, manajemen kas dan perencanaan keuangan, pengelolaan piutang dan utang, pengelolaan investasi, pengelolaan Barang Milik Daerah, larangan penyitaan Uang dan Barang Milik Daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBD, serta akuntansi dan pelaporan.


Sehubungan dengan hal itu, dalam Peraturan Daerah ini diperjelas posisi Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai instansi pengguna anggaran dan pelaksana program. Sementara itu Peraturan Daerah ini juga menetapkan posisi Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Daerah juga Bendahara Umum Daerah. Dengan demikian, fungsi perbendaharaan akan dipusatkan di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah.

Namun demikian untuk menyelesaikan proses pembayaran yang bernilai kecil dengan cepat, harus dibentuk kas kecil unit pengguna anggaran. Pemegang kas kecil harus bertanggung jawab mengelola dana yang jumlahnya lebih dibatasi yang dalam Peraturan Daerah ini dikenal sebagai bendahara.

Berkaitan dengan sistem pengeluaran dan sistem pembayaran, dalam rangka meningkatkan pertanggungjawaban dan akuntabilitas satuan kerja perangkat daerah serta untuk menghindari pelaksanaan verifikasi (pengurusan administratif) dan penerbitan SPM (pengurusan pembayaran) berada dalam satu kewenangan tunggal (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah), fungsi penerbitan SPM dialihkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah. Perubahan ini juga diharapkan dapat menyederhanakan seluruh proses pembayaran. Dengan memisahkan pemegang kewenangan dari pemegang kewenangan komptabel, check and balance mungkin dapat terbangun melalui (a) ketaatan terhadap ketentuan hukum, (b) pengamanan dini melalui pemeriksaan dan persetujuan sesuai ketentuan yang berlaku, (c) sesuai dengan spesifikasi teknis, dan (d) menghindari pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan memberikan keyakinan bahwa uang daerah dikelola dengan benar.

Selanjutnya, sejalan dengan pemindahan kewenangan penerbitan SPM kepada satuan kerja perangkat daerah, jadwal penerimaan dan pengeluaran kas secara periodik harus diselenggarakan sesuai dengan jadwal yang disampaikan unit penerima dan unit pengguna kas. Untuk itu, unit yang menangani perbendaharaan di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah melakukan antisipasi secara lebih baik terhadap kemungkinan kekurangan kas. Dan sebaliknya melakukan rencana untuk menghasilkan pendapatan tambahan dari pemanfaatan kesempatan melakukan investasi dari kas yang belum digunakan dalam periode jangka pendek.

3.    Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Pengaturan bidang akuntansi dan pelaporan dilakukan dalam rangka untuk menguatkan pilar akuntabilitas dan transparansi. Dalam rangka Pengelolaan Keuangan Daerah yang akuntabel dan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa (1) Laporan Realisasi Anggaran, (2) Neraca, (3) Laporan Arus Kas, dan (4) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sebelum dilaporkan kepada masyarakat melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK RI.

Fungsi pemeriksaan merupakan salah satu fungsi manajemen sehingga tidak dapat dipisahkan dari manajemen keuangan daerah. Berkaitan dengan pemeriksaan, hal ini dilakukan berdasarkan amanat UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terdapat dua jenis pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu pemeriksaan intern dan pemeriksaan ekstern.

Pemeriksaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan sejalan dengan amandemen IV UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945, pemeriksaan atas laporan keuangan dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian BPK RI akan melaksanakan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah.

Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan keuangan ini, BPK RI sebagai auditor yang independen akan melaksanakan audit sesuai dengan standar audit yang berlaku dan akan memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Kewajaran atas laporan keuangan pemerintah daerah ini diukur dari kesesuaiannya terhadap standar akuntansi pemerintahan. Selain pemeriksaan ekstern oleh BPK RI, juga dapat dilakukan pemeriksaan intern. Pemeriksaan ini pada pemerintah daerah dilaksanakan oleh Inspektorat Daerah.


Oleh karena itu dengan spirit sinkronisasi dan sinergitas terhadap berbagai peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka Pengelolaan Keuangan Daerah yang diatur dalam peraturan daerah ini bersifat umum dan lebih menekankan kepada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, landasan umum dalam penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Sementara itu sistem dan prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah secara rinci ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

II.    PASAL DEMI PASAL

Pasal 1   
Cukup jelas.

Pasal 2   
Cukup jelas.

Pasal 3   
Cukup jelas.

Pasal 4   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11) Cukup jelas.

Pasal 5   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.



Ayat (3)
Huruf a

Yang dimaksud dengan koordinator adalah terkait dengan peran dan fungsi Sekretaris Daerah membantu Bupati dalam menyusun kebijakan dan mengordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah termasuk Pengelolaan Keuangan Daerah.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.

Ayat (4)   Cukup Jelas

Pasal 6   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Tim anggaran pemerintah daerah mempunyai tugas menyiapkan dan melaksanakan kebijakan  Bupati dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 7   

Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 8   
Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 9   
Pelimpahan sebagaimana dimaksud adalah berdasarkan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang melekat pada para pejabat dalam lingkungan SKPKD.

Pasal 10   
Ayat (1)
Huruf a  s/d huruf h Cukup jelas.

Huruf i 
Utang piutang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah sebagai akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan DPA-SKPD.

Huruf j  s/d huruf n Cukup jelas.

Ayat (2)    :    Cukup Jelas
Ayat (3)    :    Cukup Jelas

Pasal 11   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk penetapan dan penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang atas usul Kepala SKPD.

Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup Jelas


Pasal 12   
Ayat (1) Cukup jelas.
Penunjukan PPTK sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usulan PA/KPA yang bersangkutan.


Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 13   
Ayat (1)
Penunjukan PPK sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usulan PA yang bersangkutan.

Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 14   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan perdagangan dan pekerjaan pemborongan adalah Bendara penerimaan dan bendahara pengeluaran baik langsung maupun tidak langsung terlibat secara aktif dalam suatu kegiatan/usaha perdagangan dan kegiatan pemborongan pekerjaan pada SKPD tertentu atas nama jabatannya maupun pribadinya.

Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 15   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 16   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 17   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 18   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 19   
Yang dimaksud dengan didukung dengan adanya kepastian tersediannya penerimaan daerah dalam jumlah yang cukup adalah setiap pengeluaran yang direncanakan memperoleh kepastian penerimaan untuk membiayainya.

Pasal 20   

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku adalah Peraturan dibidang Pengelolaan Keuangan Daerah dan pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penganggaran bruto adalah bahwa jumlah pendapatan daerah yang dianggarkan  tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil.

Pasal 21   

Cukup jelas



Pasal 22   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) cukup jelas

Pasal 23   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ekuitas dana lancar” adalah selisih antara aset lancar dengan kewajiban jangka pendek.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 24   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) cukup jelas

Pasal 25   
Cukup Jelas

Pasal 26   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) cukup jelas
Ayat (4) cukup jelas

Pasal 27   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) cukup jelas
Ayat (4) cukup jelas

Pasal 28   
Dalam menerima hibah, daerah tidak boleh melakukan ikatan yang secara politis dapat mempengaruhi kebijakan daerah.

Pasal 29   
Cukup Jelas

Pasal 30   
Ayat (1) cukup jelas
Ayat (2) cukup jelas

Pasal 31   
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”urusan wajib” dalam ayat ini adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Yang dimaksud dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi keunggulan daerah yang bersangkutan, antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, perhutanan, dan pariwisata.

Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 32   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)  Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 33   
Cukup jelas.

Pasal 34   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)  Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 35   
Cukup jelas.

Pasal 36   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 37   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.

Pasal 38   
Cukup jelas.

Pasal 39   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 40   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 41   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 42   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.


Pasal 43   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 44   
Cukup jelas.

Pasal 45   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 46   
Cukup Jelas

Pasal 47   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 48   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 49   
Cukup Jelas

Pasal 50   
Cukup jelas

Pasal 51       
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 52   
Ayat (1) Cukup Jelas
Ayat (2) Cukup Jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 53   
Cukup Jelas

Pasal 54   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 55   
Cukup Jelas

Pasal 56   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 57   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 58   
Cukup jelas.

Pasal 59   
Cukup jelas.

Pasal 60   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 61   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 62   
Cukup jelas.

Pasal 63   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.

Pasal 64   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 65   
Cukup Jelas.

Pasal 66   
Cukup Jelas.

Pasal 67   
Cukup jelas.

Pasal 68   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 69   
Cukup Jelas

Pasal 70   
Cukup jelas.

Pasal 71   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Pasal 72   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 73   
Cukup jelas.

Pasal 74   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 75   
Cukup jelas.

Pasal 76   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 77   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 78   
Cukup jelas.

Pasal 79   
Ayat (1)
RPJMD sebagaimana dimaksud dalam ayat ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 6 (en)am bulan setelah  Bupati dan Wakil Bupati terpilih dilantik.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 80   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 81   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 82   
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 83   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 84   
Cukup jelas.

Pasal 85   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 86   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 87   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.



Pasal 88   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 89   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 90   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 91   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 92   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 93   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 94   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 95   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 96   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 97   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 98   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 99   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 100   
Cukup jelas.

Pasal 101   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 102   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 103   
Cukup jelas.


Pasal 104   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 105   
Cukup jelas.

Pasal 106   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 107   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 108   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 109   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 110   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.

Pasal 111   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 112   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 113   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 114   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 115   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 116   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.



Pasal 117   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 118   
Cukup jelas.

Pasal 119   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 120   
Cukup jelas.

Pasal 121   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 122   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 123   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 124   
Cukup jelas.

Pasal 125   
Cukup jelas.

Pasal 126   
Cukup jelas.
Pasal 127   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 128   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 129   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 130   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 131   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 132   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 133   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 134   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
.
Pasal 135   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 136   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 137   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 138   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 139   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 140   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 141   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.



Pasal 142   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 143   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 144   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 145   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 146   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11) Cukup jelas.
Ayat (12) Cukup jelas.
Ayat (13) Cukup jelas.
Ayat (14) Cukup jelas.

Pasal 147   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 148   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 149   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 150   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 151   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 152   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 153   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 154   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 155   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 156   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 157   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 158   
Cukup jelas.

Pasal 159   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 160   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 161   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.

Pasal 162   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 163   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 164   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 165   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 166   
Cukup jelas.

Pasal 167   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 168   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 169   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 170   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 171   
Cukup jelas.

Pasal 172   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 173   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 174   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 175   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.


Pasal 176   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 177   
Cukup jelas.

Pasal 178   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 179   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 180   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 181   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 182   
Cukup jelas.

Pasal 183   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.




Pasal 184   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 185   
Cukup jelas.

Pasal 186   
Cukup jelas.

Pasal 187   
Cukup jelas.

Pasal 188   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 189   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 190   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 191   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 192   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 193   
Cukup jelas.


Pasal 194   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 195   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 196   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 197   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 198   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 199   
Cukup jelas.

Pasal 200   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 201   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.



Pasal 202   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 203   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 204   
Cukup jelas.

Pasal 205   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 206   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 207   
Cukup jelas.

Pasal 208   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 209   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 210   
Cukup jelas.





Pasal 211   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 212   
Cukup jelas.

Pasal 213   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 214   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 215   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 216   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 217   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 218   
Cukup jelas.

Pasal 219   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.



Pasal 220   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 221   
Cukup jelas.

Pasal 222   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 223   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 224   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 225   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 226   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 227   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.





Pasal 228   
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 229   
Cukup jelas.

Pasal 230   
Cukup jelas.

Pasal 231   
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT NOMOR 8

3 komentar:

  1. terima kasih kk ilmunya. Om Dan dan MM.Aco

    BalasHapus
  2. Apakah Anda mencari pinjaman pribadi, Atau kau menolak pinjaman oleh bank. Aku memberikan pinjaman kepada perusahaan dan individu pada tingkat bunga rendah dan terjangkau dari 2% Bunga. Silahkan hubungi kami melalui email:
    specialgraceloanfirm@gmail.com
    divinegraceloanfirm@outlook.com

    Terima kasih,
    Ibu Elizabeth Daniel

    BalasHapus
  3. pak tolong upload juga dong Perda nomor 22 tahun 2005 jo nomor 13 tahun 2011

    BalasHapus