Minggu, 04 September 2011

Membangun Kesadaran Politik suatu Refreksi


09 September 2011 jam 11:14
WAKTU adalah zat yang berada diluar kekuasaan kita.
Waktu ada bukan karena kita tapi ia bersama kita. Maka kita ada di sini, di dunia ini, dalam suasana yang terus berubah karena pergiliran waktu. Ia terus berjalan dari detik ke detik; dari hari menjadi pekan, dari pekan menjadi bulan, dan dari bulan menjadi tahun. Begitulah seterusnya hingga menjadi zaman berperadaban.
Kita berada di sini dalam perputaran itu, sebagai upaya untuk mengikhlaskan sebuah kenyataan bahwa betapa kecil kuasa kita sebagai manusia. Pada saat yang sama, dengan rendah hati kita menyadari dengan sungguh-sungguh betapa Maha Kuasanya Allah di atas segala yang kita alami dan rasakan bahkan yang kita rencanakan.
Namun demikian, sekalipun waktu, rentang waktu dan proses yang bergulir di dalamnya berada di luar jangkauan kita, selalu ada keharusan bagi kita untuk memberinya makna. Saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk melakukan sesuatu sebagai bagian dari upaya kita dalam memaknai waktu dan kehidupan itu. Harapannya, dengan demikian kita mampu memberi makna bagi waktu dan kehidupan yang tulus dan tak kenal lelah—bahkan semakin cinta—menemani kita.
Kerja pemberian makna ini sama sekali bukan ikhtiar untuk menunjukkan kegagahan dan kesombongan diri, melainkan untuk memikul amanah Sang Kuasa, Allah, secara rendah hati sebagai pengelola dan pemimpin bumi. Karena itu, saya sangat bergembira diberi kesempatan oleh Allah melalui intelektual muda, Saudara Pangi Syarwi, untuk memberi makna—dengan “meng-edit” buku ini—bagi waktu dan kehidupan.
Sebagai manusia, kita mesti mampu membuat sejarah hidup kita sendiri. Seperti kata Paulo Fraire, “Seorang manusia adalah yang bisa menentukan sejarahnya sendiri.” Maka sebagai manusia dan sebagai bangsa, kita mesti membuktikan sejarah hidup kita sendiri. Karena kitalah yang merasakannya, maka kita jugalah yang merencanakannya.
Negara dalam banyak sebutannya; tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang pertama menadah kulit kepala kita, adalah sesuatu yang melekat tak terpisah dalam struktur kesadaran rasional dan emosional kita. Tanah—yang dalam konteks ini kita sebut dengan Negara—dalam kesadaran itu adalah satu dari tiga fasilitas eksistensial yang menjadi kerangka dasar membangun kehidupan dan peradabannya; tanah, waktu dan keyakinan. Pada posisi itu, maka Indonesia—atau juga dunia ini seluruhnya—adalah tanah dimana praktek eksistensial kita dipampang.
Begitulah pada mulanya manusia menyadari, bahwa ia diturunkan ke dunia sebagai pengemban tugas merealisasikan kehendak-kehendak Sang Kuasa, dalam bentuk kemakmuran bumi. Dalam konteks bernegara juga begitu. Ia menjadi ‘ruang’ implementasi tugas mulia sosial-politik dan kepemimpinan, dalam batas-batas ‘tempo’ kerja, yang secara mikro kita sebut umur politik-kekuasaan dan secara makro kita sebut sejarah bangsa, berdasarkan ‘program’ kerja yang selanjutnya kita sebut sebagai konstitusi atau perundang-undangan. Di situ kita, baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa, memainkan peran ganda; sebagai pelaku dan obyek kepelakuan sekaligus.
Di sini ada kesatuan dan integralitas yang harmonis; saat mana kekuatan yang berbasis pada Sang Kuasa menjadi mainstream, dengannya akan dengan mudah dibangun jaringan sosial dan politik antara manusia berupa kekuasaan (elit) dan rakyat (alit) dengan Negara dan proses demokratisasi yang berlaku di dalamnya. Inilah yang dalam terminologi manusia modern disebut sebagai historical society (masyarakat sejarah); yaitu jenis masyarakat baru yang memiliki tingkat kesadaran struktural yang tinggi untuk merekayasa kehidupan sosial dan membangun peradaban negara-bangsanya. Atau jenis masyarakat baru yang menyudahi fase primitive society (masyarakat primitif).
Disebut primitif karena masyarakat tidak memiliki kesadaran strukural yang bertumpu pada ideologi untuk membangun jaringan hubungan sosial-politiknya. Yang terjadi adalah, bahwa jaringan hubungan sosial itu dibentuk berdasarkan ikatan ketanahan (faktor geografis dan ras), dan kepentingan elit tertentu, baik secara politik maupun ekonomi dan sejenisnya.
Dari ikatan inilah kemudian pada proses demokratisasi di masa lalu—Orde Lama dan Orde Baru, bisa jadi berulang kembali di masa sekarang dan masa depan—terbentuk kekuatan dengan ideologi pragmatisnya yang melahirkan apa yang kita sebut sebagai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada prakteknya, konstitusi, aturan dan norma kehidupan baik buruk atau benar salah bukan menjadi faktor utama dalam menentukan arah politik dan kepemimpinan, bahkan ia hanya menjadi faktor sekunder. Apa yang terjadi kemudian adalah umur kesengsaraan rakyat semakin panjang, carut-marut cara kita bernegara semakin lebar dan proses pembangunan yang diperankan oleh Negara semakin tak menentu.
Pada sisi tertentu, demokratisasi kemudian dipahami sebagai pergumulan antara harapan dan kekecewaan, kabar baik dan kabar buruk, masa depan yang benderang dan masa lampau yang gulita. Fase awal demokratisasi—1998-2003, 2004-2009, hingga kini 2011—membuktikan betapa harapan, kabar baik, dan masa depan benderang tak selalu menjadi pemenang. Ia tak hanya menghasilkan para pemenang dan penikmat tapi juga para pecundang dan korban.
Bagi sebagian kita, hal-hal baik yang dijanjikan demokratisasi datang terlampau lamban, malu-malu, satu per-satu, sementara hal-hal buruk di baliknya dan yang semestinya dilawannya justru selalu menyalip, datang lebih cepat dan berombongan. Ia pun jalan panjang, melelahkan dan seolah tak berujung. Sebagai sebuah bangsa dan bagian dari warga Negara, menghadapi fenomen tersebut dengan putus asa dan patah arang bukanlah pilihan.
Sebagai sebuah bangsa, kita sudah melewati peristiwa demokrasi beberapa periode. Secara umum kita dapat sederhanakan ke dalam beberapa periode, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada ketiga periode tersebut, Pemilu sebagai salah satu instrumen politik, sudah kita lalui dengan berbagai model dan kendala yang terdapat di dalamnya.
Walau dengan mengelus dada dan mengerutkan dahi, kita perlu memahami perjalanan demokratisasi Negara kita secara jernih. Mengingat kembali apa yang sudah terjadi pada masa lalu akan lebih elegan jika kita mengambil posisi aktif. Artinya, “pandanglah masa lalu dari masa depan”. Ambillah posisi strategis sebagai warga Negara yang baik; mengambil posisi pelaku bukan penonton. Sudah bukan saatnya lagi bagi kita mencaci maki masa lalu secara membabi buta. Ambillah sisi-sisi terang di masa lalu, dan segeralah mengesampingkan sisi gelapnya. Kini kita hidup di masa kini, dan segera menyongsong masa depan baru—dengan berbagai kendala, tantangan dan persiapan yang ada di dalamnya.
Lalu, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya? Kini kita sudah berada di tahun 2011—jika normal—menjelang Pemilu 2014. Artinya, “Tahun Politik” sudah dekat. Tahun 2014 sudah di ambang pintu. Sederet peristiwa politik berupa pemungutan suara untuk Pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan pemungutan suara untuk Presiden dan Wakil Presiden bakal kita lalui bersama.
Kita tentu percaya bahwa Pemilu bukanlah tujuan. Ia adalah sarana atau kendaraan. Pemilu yang demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai akan percuma manakala tak berhasil memfasilitasi tegaknya keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat serta tercapainya kesejahteraan dan keadilan.
Mengamini apa yang diungkap penulis buku ini, saya ingin mengatakan bahwa bahaya terbesar dari rangkaian Pemilu 2009 adalah gagal terfasilitasinya perikehidupan publik yang lebih baik “saat ini” dan “esok”. Untuk menaklukkannya, selain berharap penyelenggara Pemilu—dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU)—dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bisa menunaikan tugasnya secara layak, kita juga menumpukan harapan pada dua pelaku: kandidat dan pemilih.
Kualitas para kandidat akan ikut menentukan sukses atau gagalnya Pemilu 2014 dalam menggapai tujuan yang dikejarnya. Inilah ”sukses-gagal seleksi”. Sebab, mereka adalah produk mekanisme seleksi partai dan non-partai (khusus untuk DPD). Sukses seleksi bersifat elitis, tak melibatkan massa atau pemilih dalam jumlah besar. Tetapi, sukses ini menjadi hulu sukses Pemilu.
Di hilir, ada mekanisme ”eleksi”. Dalam medan pertarungan yang sesungguhnya inilah ratusan ribu ”bintang” (kandidat) itu akan ditentukan nasibnya oleh sekitar 250 juta ”penentu”, yakni pemilih, kita, yang tersebar di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia—dan luar negeri.
Pada akhirnya, terlebih-lebih di tengah rendahnya kualitas para kandidat hasil mekanisme seleksi, peran para pemilih menjadi penting dan genting dalam menentukan sukses akhir Pemilu 2014. Maka, alih-alih runyam memikirkan rendahnya kualitas para kandidat, lebih konstruktif bagi kita untuk menjemput 2014 dengan menyiapkan diri masing-masing menjadi pemilih berkualitas dan bertanggung jawab.
Karena itu, ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas Pemilu secara membabi buta tanpa argumentasi dan persiapan yang matang. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa— atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih, kita melakukannya dengan sama dewasanya.
Pemilu 2014 pun menuntut kita bertransformasi dari supporters politik menjadi voters politik, dari pendukung yang irasional, emosional, dan primordial menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan dewasa. Pemilih semacam ini tak merasa tugasnya usai saat sudah mencontreng dalam bilik suara, melainkan merasa tugasnya sebagai warga Negara justru baru dimulai, dan akan berlanjut setelah Pemilu berlangsung.
Transformasi berikutnya pun diperlukan, yakni dari ”pemilih” menjadi ”penagih janji” yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang lain dan orang banyak sepanjang waktu. Sebagai warga Negara, kita tidak boleh merasa cukup menjadi peserta atau pemilih rasional tanpa diikuti dengan menjadikan diri sebagai warga Negara yang aktif. Maksudnya, kapasitas kita sebagai warga Negara “yang baik” akan lebih dahsyat ketika setelah proses Pemilu kita menggunakan hak konstitusi kita untuk menegur, memberi kritik dan masukan bahkan mengancam kekuasaan jika tak sejalan dengan kesepakatan atau rambu-rambu demokrasi. Dengan cara inilah, kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, lalu menjadi ”para penagih janji”. Dengan begitu, kita akan semakin dewasa dalam bernegara dan mampu menjemput momentum politik—termasuk Pemilu 2014—dengan senang hati dan optimisme.
Saya belum berkesempatan untuk memberi komentar yang banyak atas buku ini. Yang jelas, setelah membantu menyusun dan merapihkan naskah—atau meminjam sebutan penulisnya sebagai editor—buku ini, saya berkesimpulan bahwa penulisnya ingin mengingatkan sekaligus memprovokasi kita bahwa realitas politik kebangsaan yang pernah kita lalui dan saksikan pada beberapa periode serta yang sekarang sedang kita jalani belumlah seideal seperti yang kita inginkan.
Karena itu, ada baiknya semua elemen berbicara, melibatkan diri, memberi kritik dan saran, hingga mematangkan diri baik sebagai penguasa maupun rakyat biasa, agar ketika momentumnya tiba semuanya mampu berkontribusi dengan tulus. Akhirnya, masa depan demokrasi kebangsaan kita lebih baik dan menghadirkan kemaslahatan yang lebih nyata kepada publik, Negara dan bangsa.
Selanjutnya, dengan pengalaman yang dilihat, dialami atau yang difirasati serta latar studinya, bagi saya, penulis sangat relevan berbicara tentang perjalanan dan realitas demokrasi di Negeri ini. Baik tentang politik dan seluruh elemen dan instrumennya maupun Pemilu, Pilkada dan berbagai peristiwa yang bergejolak dalamnya.
Walau dengan diksi yang sangat tajam, kritik yang disampaikan dalam rentetan kritik pada beberapa bab buku ini adalah bukti cinta. Penulisnya mencintai Negeri ini dengan sungguh. Ibarat elang muda, ia akan pasti kembali. Penulisnya “pergi ke alam kritik”—alam yang sering ditakuti oleh sebagian orang—sebagai bukti untuk “terus-menerus mencintai Indonesia”. Ya, penulisnya pasti “kembali”. Karenanya, tak perlu ada yang merasa terlukai. Justru “nasehat dan renungan politik” seperti ini layak mendapat apresiasi dari seluruh elemen bangsa—terutama para elit yang “kerap” ingkar janji dan rakyat yang kadang lebih doyan dibodohi.
Lebih dari itu, penulis mencoba membangun kesadaran kita bahwa mencintai Indonesia dengan kerja nyata adalah pilihan pendekatan yang selayaknya diambil: menjadi pemain dan bukan penonton, menjadikan warga Negara yang baik sebagai tumpuan, berpikir besar, memulai dari yang kecil, mengerjakan secara optimal sekarang. Indonesia yang lebih baik hanya akan tumbuh di atas kerja nyata kita bukan caci maki kita.
Selanjutnya, penulis mengajak kita semua untuk tidak terlalu lama dan bangga dengan setiap peristiwa politik yang menyengsarakan. Kita mesti sadar bahwa kita memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menata masa depan bangsa ini. Spirit itulah yang saya temukan dalam karya ini. Karenanya, saya sangat percaya bahwa tokoh muda ini adalah salah satu dari sekian banyak manusia-manusia jenial Indonesia yang memiliki peluang besar sebagai pelaku utama dalam menggerakan perubahan bangsa ini di masa depan. Bukan saja karena responnya yang cepat, analisisnya yang tajam, tapi juga firasat politik dan kepemimpinannya yang khas.
Saya perlu menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada media massa yang telah mempublikasikan sebagian tulisan dari buku ini sebelum menjadi buku seperti yang ada di tangan pembaca sekarang. Sekaligus memohon maaf jika tulisan-tulisan tersebut saya ambil tanpa izin secara langsung. Walaupun bagi saya, tugas “mengucapkan” dan “maaf” ini akan lebih elegan jika disampaikan oleh penulis sendiri. Karena sebagai orang biasa, saya lebih suka memohon maaf kepada penulis yang dengan senang hati mempercayai saya untuk “meng-edit” naskah buku ini.
Jujur, banyak tulisan yang saya ubah dari aslinya. Dengan waktu, tenaga dan segala upaya, saya berusaha agar ide atau gagasan yang terdapat di dalamnya bisa dinikmati publik dengan ‘renyah’. Di samping rasa bangga saya kepada penulis yang telah mempercayai Penerbit Mitra Pemuda—dengan seluruh tim di dalamnya—sebagai penerbit yang menerbitkan buku ini. Sekali lagi, terima kasih Saudara Pangi Syarwi.
Akhirnya, saya menyaksikan bahwa karya ini adalah setitik upaya, agar jangan ada lagi interupsi yang tak didengar, lantaran telinga-telinga tuli enggan mendengar dan para pemburu dunia sungkan menggubris. Agar jangan ada lagi ide yang tak punya kesempatan untuk dibukukan, lantaran setiap generasi belum punya obsesi untuk melakukan peran menyusun kata-kata dalam kertas-kertas yang terlihat kusam. Padahal semua orang bisa melakukan peran ini, terutama aktivis (baca: politisi) dan intelektual muda, walaupun ditulis di antara “rintihan kesepian” dan “kepenatan politik” yang tak kenal jeda. Semoga ada yang berminat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar