Minggu, 30 Oktober 2011

CARA MENGATASI MASALAH RUMIT

Orang-orang yang sulit biasa disebut sebagai difficult people. Bagi seorang atasan, menangani bawahan yang sulit merupakan sebuah tantangan tersendiri. Hal ini bukan hanya bisa meruntuhkan wibawanya, tetapi sangat melelahkan hati. Merusak reputasi, dan membikin frustrasi. Dalam banyak kasus, orang yang dikira sulit itu tidak selalu benar-benar sulit. Melainkan atasannya yang belum tahu bagaimana cara memimpinnya. Begitu menerapkan cara memimpin yang tepat, mereka berubah menjadi orang-orang yang sangat koperatif. Apakah Anda memiliki bawahan yang sulit? Ataukah justru Anda adalah bawahan yang sulit bagi atasan Anda?

Kebanyakan orang kegirangan ketika mendapatkan promisi jabatan. Tak jarang yang kemudian makan hati saat menjalani hari-hari sulit dalam memimpin orang. Bahkan tidak sedikit yang menutupi ketidakmampuannya dalam memimpin orang lain dengan memberi label bawahannya sebagai orang sulit. Secara objektif, memang ada orang-orang yang sangat sulit diatur hingga tidak segan untuk melakukan pembangkangan. Mereka pada dasarnya orang-orang yang tidak mau menerima kepemimpinan  atasannya. Namun secara sukyektif, tidak jarang juga kesulitan itu ditimbulkan oleh ketidakmampuan atasan untuk menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan sifat dan karakter bawahan.

Situasi serupa ini bisa terjadi di perusahaan apapun dan dialami oleh pemimpin yang manapun. Maka sebagai seorang pemimpin, kita perlu belajar mengatasinya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengatasi bawahan yang sulit, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn) berikut ini:

1.             Perlihatkan kematangan.

Salah satu alasan klasik orang-orang sulit adalah menilai atasannya sebagai orang yang tidak layak memimpin mereka. Apakah karena mereka merasa lebih senior, atau lebih berpengalaman, atau sekedar merasa lebih berhak mendapatkan jabatan itu. Makanya kalimat favorit mereka berbunyi; Elu kira elu itu siape? Cara terbaik menghadapi mereka adalah dengan memperlihatkan kematangan kita. Usia, masa kerja, dan pengalaman kita boleh saja tidak lebih banyak dari mereka. Namun, kepemimpinan bukanlah semata-mata ditentukan oleh hal-hal semacam itu. Ironisnya, banyak atasan yang menghadapi tantangan seperti ini dengan menggunakan kekuatan jabatan alias position power dengan prinsip Gua boss elu. Suka atau tidak, elu musti nurut sama gua! Efektifkah? Bisa ya, bisa tidak. Tetapi saya memiliki keyakinan dan pengalaman bahwa kekuatan jabatan itu bisa tidak selalu diandalkan. Malah sebaliknya bisa semakin menimbulkan penolakan orang-orang sulit. Beda dengan kematangan. Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa bawahan yang awalnya sulit dan menyepelekan atasannya, kemudian berubah menjadi respek kepadanya. Bukti bahwa kematangan seseorang dalam memimpin mempunyai dampak langsung kepada rasa hormat anak buahnya.

2.             Tunjukkan rasa hormat.

Setiap orang berhak untuk menunjukkan ekspresinya. Termasuk perasaannya terhadap pemimpinnya. Anda tidak akan pernah bisa memaksa seseorang menyukai Anda. Mengapa? Karena perasaan suka dan penghormatan adalah bagian yang tidak bisa diintervensi oleh orang lain. Bukankah Anda juga tidak dapat menghormati orang-orang yang menurut pendapat Anda layak dihormati? Masalahnya, banyak atasan yang karena kedudukannya merasa dirinya layak dihormati. Padahal, bukan hanya atasan yang layak mendapatkan penghormatan. Bawahan juga memiliki hak yang sama. Maka gagasannya adalah; bagaimana antara atasan dan bawahan bisa saling menghormati. Siapa yang harus terlebih dahulu menunjukkan rasa hormat itu jika demikian? Kita. Apalagi jika posisi Anda lebih tinggi dari mereka. Maka Anda perlu memberi keteladan dengan terlebih dahulu memberi rasa hormat kepada bawahan. Apakah ini tidak memancing mereka merasa diatas angin lalu lebih melecehkan? Hey, tak seorang pun bisa melecehkan orang yang memiliki kematangan dan rasa hormat. Pada akhirnya, mereka akan menyadari jika sikap hormat Anda kepada mereka layak dibalas dengan penghormatan yang sama.

3.      Berikan penyadaran.

Banyak sekali bawahan yang lupa bahwa sikap sulitnya hanya akan membuat pekerjaan dan karir mereka semakin sulit. Mereka sering keliru mengira bahwa kalau bisa melawan atasan berarti mereka adalah orang-orang yang kuat. Dalam banyak kasus, hal itu berhasil juga. Cukup banyak atasan yang frustrasi karena bawahannya sehingga kepemimpinannya tidak efektif. Dampaknya, team yang dipimpinnya tidak menghasilkan kinerja baik. Walhasil, akhir tahun semuanya mendapatkan penilaian yang buruk. Bawahan sulit sering mengira dia menang. Padahal dalam situasi seperti itu, semua orang adalah pecundang. Atasannya loose, mereka sendiri juga loose. Makanya, sebagai atasan Anda perlu memberi penyadaran kepada bawahan yang sulit bahwa sikap buruknya hanya akan merugikan diri mereka sendiri. Sebagai atasan, Anda memiliki kewajiban untuk memberi penyadaran ini. Dan mereka berhak untuk mendapatkannya. Anda juga memiliki kewenangan untuk menilai. Maka jika mereka ingin mendapatkan penilaian yang baik, mereka harus memperlihatkan sikap dan kinerja yang baik. Jika mereka ngotot bertindak sulit, maka itu pilihannya sendiri. Jika sadar soal ini, Anda tidak akan ikut terpuruk. Sebab dari awal Anda tahu harus melakukan apa.

4.      Tegakkan kedisiplinan.

Sikap dan perilaku seseorang sepenuhnya menjadi pilihan dia sendiri. Anda hanya bisa melatihnya, membimbingnya, dan terus menerus mengingatkannya. Namun, Anda tidak bisa memaksanya. Tapi tidak demikian dengan kedisiplinan. Itu adalah hak perusahaan. Sedangkan karyawan wajib memenuhinya. Oleh sebab itu, meski Anda wajib memberi ruang kepada bawahan untuk menentukan sikapnya sendiri, namun soal kedisiplinan tidak ada tawar menawar lagi. Ini bukan soal ego Anda, melainkan tanggungjawab Anda dan mereka sendiri sebagai seorang profesional. Anda tidak bisa menghukum seseorang hanya karena tidak mau bersikap ramah kepada Anda. Namun Anda bisa menjatuhkan sanksi kepada bawahan yang tidak disiplin. Dan soal kewenangan itu, merupakan bagian dari paket amanah kepemimpinan yang Anda emban. Jika bawahan Anda tidak disiplin, perusahaan akan meminta Anda pertanggungjawaban. Maka dari awal kepemimpinan, Anda harus mempunyai kesepekatan soal menegakkan kedisiplinan. Soal menegakkan kedisiplinan ini bukanlah jalan satu arah. Artinya, Anda sendiri harus disiplin. Jika Anda sendiri tidak disiplin, wajar kalau anak buah Anda semakin melecehkan. Dan ketidakdisiplinan Anda itu menunjukkan bahwa Anda, memang tidak layak menjadi pemimpin. Menegakkan kedisiplinan berarti menjadikan diri sendiri dan orang-orang yang Anda pimpin sama-sama berdisiplin.

5.             Tunjukkan keadilan.
Guru kehidupan saya mengatakan bahwa diantara orang-orang yang paling disayang Tuhan dihari perhitungan amal adalah pemimpin yang adil. Bukan pemimpin yang salesnya paling tinggi atau yang bonusnya paling banyak. Mengapa? Karena keadilan itu bukan soal yang gampang untuk diterapkan. Jika Anda merasa bawahan Anda tidak sopan, hati Anda berbisik; tahu rasa nanti lu ya!. Padahal boleh jadi kinerjanya justru paling baik. Namun karena Anda lebih suka pada bawahan yang ABS maka penilaian Anda tetap buruk. Penilaian juga dipengaruhi banyak faktor subyektif lainnya. Bahkan ada juga pemimpin yang mengancam bawahan untuk melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan pekerjaan. Jika tidak? Hmmh, tahu sendiri akibatnya. Jabatan tinggi itu dekat sekali dengan penindasan dan kesewenang-wenangan. Keadilan Anda itu menimbulkan rasa hormat bawahan. Termasuk orang-orang yang Anda anggap paling sulit. Maka sikap adil, sangat dihargai oleh bumi dan dijunjung tinggi oleh langit. Secara pribadi, Anda boleh tidak suka atau tidak cocok dengan bawahan Anda. Namun soal keadilan, Anda tidak memiliki hak untuk mempermainkannya. Mengapa? Karena keadilan adalah amanah yang dititipkan Tuhan kepada setiap orang yang menyandang gelar sebagai pemimpin. Memimpin manusia itu berbeda dengan menggembalakan domba-domba. Anda cukup menggiring mereka kepadang rumput yang subur, lalu membawanya pulang ke kandang setelah mereka kenyang. Manusia, setiap individunya mempunyai kehendak yang berbeda-beda. Bukan sekedar perut belaka. Bahkan diantara mereka ada yang menginginkan kursi kita. Maka tentu pendekatannya jauh berbeda. Saya dulu pernah menjadi gembala domba. Saya juga pernah dan sedang mengemban amanah untuk memimpin manusia. Kedua pengalaman nyata itu membuat saya semakin sadar bahwa manusia bukanlah domba. Manusia adalah mahluk yang setara dengan kita. Makanya, mereka menuntut perlakuan yang bermartabat dan rasa hormat dari atasannya. Saat martabat dan rasa hormat itu mereka dapat, maka mereka tidak lagi berselera untuk menjadi bawahan yang sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar